Info Ayah Bunda

Friday, July 4, 2008

Lima Cara Merangsang Anak Belajar

Anda ingin si kecil memiliki antusiasme yang tinggi untuk belajar dan berprestasi kelak? Beberapa cara berikut dapat Anda coba.

Lihatlah di halaman sebuah Taman Kanak-kanak. Sebagian anak tampak senang sekali dengan situasi sekolahnya. Anak-anak ini seakan memiliki otak seperti sebuah spons, menyerap apa saja yang terjadi di lingkungannya dengan antusias. Anak-anak seperti ini biasanya menunjukkan prestasi belajar yang baik nantinya.

Namun sebagian lain dari anak-anak tersebut tampak menunjukkan sikap negatif terhadap sekolah. Mereka tampak enggan melakukan berbagai kegiatan. Jika demikian, bagaimana mengharapkan anak-anak ini berprestasi kelak? Mengapa hal ini terjadi mengingat kedua kelompok anak-anak ini memiliki kemampuan yang kurang lebih sama?

Yang sering terjadi kemudian, orang tua lalu menyalahkan guru dan sekolah karena rendahnya motivasi anak-anak mereka untuk belajar. Padahal, menurut Dr. Sylvia Rimm dalam bukunya Smart Parenting , How to Raise a Happy Achieving Child , orang tua memiliki pengaruh positif yang sangat besar terhadap pendidikan anak-anaknya. Tidak hanya ketika anak masih kecil, namun juga sepanjang hidupnya.

Berikut ini Dr. Rimm menawarkan beberapa kiat yang dapat diterapkan sejak dini untuk membantu meningkatkan keinginan si kecil belajar dan berprestasi di sekolahnya kelak. Tentu saja tidak dengan cara memaksa maupun menuntut, namun lebih pada berbagai arahan dan dukungan yang membuat anak merasa nyaman berkegiatan.

1. Menciptakan rutinitas

Rutinitas membantu anak mandiri menjalani hari-harinya. Bayangkan jika sejak si kecil bangun pagi hingga malam hari ketika hendak tidur tergantung pada orang-orang dewasa di sekitarnya untuk mengarahkannya dari satu aktivitas ke aktivitas yang lain. Anak-anak ini akan memiliki perasaan negatif terhadap dirinya, dan belajar bahwa orang lain akan selalu mengambil tanggung jawab dirinya. Dengan begitu, jangan heran, jika suatu saat Anda terganggu oleh ketergantungan anak pada Anda dalam menjalani berbagai aktivitas sehari-hari.

Karenanya, ciptakan rutinitas sejak dini dengan membiarkan si kecil melakukan sendiri kegiatan rutinnya. Buatlah jadwal rutinitas yang harus dilakukan anak. Misalnya, bangun tidur, diikuti dengan membersihkan tempat tidur, menggosok gigi lalu sarapan bersama-sama Anda. Jika si kecil belum bisa membaca jadwalnya, buatlah gambar aktivitasnya secara berurutan sehingga mudah dipahami dan diikutinya. Tentu saja penjadwalan rutinitas ini dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dan usia anak.

2. Pembiasaan belajar

Anak usia prasekolah memang belum memiliki beban akademis yang mengharuskannya belajar pada waktu-waktu tertentu di rumah. Namun tidak ada salahnya Anda membiasakan anak duduk di meja belajar yang disediakan baginya pada saat yang sama setiap harinya, dan untuk jangka waktu yang sama pula.

Pada saat itu ajaklah si kecil melihat-lihat buku ceritanya, atau menggambar kurang lebih selama beberapa menit. Misalnya, setiap sore jam 16.00, selama beberapa menit (lebih kurang 5 menit). Cara ini membuat anak terbiasa mengerjakan pekerjaannya di atas meja yang disediakan untuknya.

Ide untuk membiasakan si kecil duduk di meja belajarnya pada saat yang sama dan jangka waktu yang sama setiap harinya didapat dari seorang ahli ilmu faal bernama Ivan Pavlov . Pavlov menemukan hukum clasical conditioning, di mana jika ada dua stimuli dihubungkan, maka stimuli kedua akan menghasilkan respons yang sama dengan stimuli pertama.

3. Meningkatkan komunikasi

Komunikasi yang baik merupakan prioritas utama dari semua kebiasaan yang dapat meningkatkan keinginan anak berprestasi. Sementara, gaya hidup di perkotaan yang sibuk membuat waktu untuk berkomunikasi dengan anak sangat terbatas. Orang tua perlu menjadwalkan waktu khusus untuk bercakap-cakap dengan anak setiap hari. Misalnya saat minum teh di sore hari, atau makan malam bersama keluarga. Yang terpenting, matikan TV atau singkirkan hal-hal yang mungkin mengganggu komunikasi Anda dengan si kecil.

Mendengar adalah salah satu bagian penting dalam komunikasi. Jika orang tua terbiasa mendengar anaknya berbicara, maka anak juga akan mendengar jika Anda berbicara. Menurut Dr. Rimm, jika orang tua memiliki kebiasaan bercakap-cakap secara teratur setiap harinya, anak akan lebih terbuka kelak ketika memasuki usia remaja. Keadaan ini diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan belajar pada anak kelak, karena keengganan anak untuk berprestasi ( underachievement ), biasanya, merupakan efek lanjutan dari komunikasi yang buruk antara orang tua dan anak.

4. Bermain dan permainan

Bermain merupakan sarana utama bagi anak untuk belajar berbagai hal. Sedangkan permainan atau games biasanya merupakan latihan yang baik untuk menghadapi kompetisi yang sesungguhnya di dunia luar. Manfaat mainan dan permainan, antara lain, meningkatkan imajinasi dan pelampiasan emosi. Misalnya, dengan permainan boneka dan bermain peran. Selain itu, sambil bermain anak bisa belajar keterampilan spesial atau konsep angka. Misalnya, dengan bermain balok kartu atau puzzle .

Cobalah bersenang-senang bersama dengan menciptakan berbagai permainan dengan anak. Seimbangkan antara permainan di dalam rumah dan di luar rumah yang menghasilkan manfaat berbeda.

5. Menjadi model bagi anak

Anak akan meniru perilaku orang dewasa di sekitarnya. Mereka menjadikan Anda, orang tuanya, sebagai model yang patut diikuti. Namun, tentu saja si kecil hanya akan meniru perilaku yang terlihat olehnya. Ia tidak mungkin meniru perilaku gila kerja yang mungkin Anda miliki, misalnya, sebab ia tidak melihatnya langsung.

Karenanya, mengapa tidak menerangkan kepadanya apa yang Anda kerjakan di tempat bekerja? Daripada hanya mengeluhkan pekerjaan setiap Anda pulang bekerja, lebih baik Anda mulai menunjukkan pada si kecil bahwa Anda sangat menyukai apa pun yang Anda kerjakan. Karena, jika tidak, si kecil akan meniru perilaku Anda yang gemar mengeluhkan pekerjaan. Bukan tidak mungkin jika nantinya si kecil akan sering mengeluhkan pelajaran maupun guru-guru di sekolahnya jika Anda tidak segera mengubah sikap.

Esthi Nimita Lubis

Gemar Teriak

Si kecil berteriak itu biasa. Namun jika jadi kebiasaan tentu bikin pusing orang sekeliling.

“Mbak, ambilin pensilku dong!” pinta Chika (3 tahun) sambil berteriak. Susi, sang ibu yang mendengar, mendadak ikut berteriak, “Chika ambil sendiri, jangan teriak-teriak!” Teriakan sang ibu memang mampu membungkam Chika sementara waktu. Namun, begitu Susi melangkahkan kakinya ke dalam kamar, mulai terdengar teriakan Chika yang lain. Kali ini si adik sasarannya. Tentu saja Susi jadi pusing tujuh keliling. Apa yang dapat dilakukan?

Perlu trik khusus

Anak seusia Chika memang belum dapat mengontrol volume suaranya. Anak-anak usia ini bahkan seringkali tampak senang jika melihat lingkungannya terganggu dengan perilakunya. Jangan heran jika mereka mengulangi beberapa kali perilakunya di lain kesempatan. Untuk mengatasi hal itu perlu beberapa trik jitu seperti berikut ini:

- Introspeksi

Apakah selama ini ada anggota keluarga dewasa yang berkomunikasi dengan berteriak. Komunikasikan pada anggota keluarga yang punya kebiasaan itu, dan upayakan agar kebiasaan saling teriak dihilangkan. Selain itu, periksalah peralatan audio visual di rumah, apakah selalu disetel dengan volume tinggi? Jika demikian, tak heran si kecil berteriak ketika bicara.

- Hindari keinginan balas berteriak

Mendengar si kecil berteriak bisa mendorong Anda balas berteriak. Ini tentu saja reaksi wajar namun, kurang bijaksana. Berteriak kembali untuk menghentikan teriakan si kecil justru memicu kompetisi dan mengilhaminya meningkatkan volume teriakan. Anak juga membuat tindakan itu sebagai excuse , “Jika ayah dan ibu saja bisa berteriak, mengapa aku tidak!”

- Bicara halus tapi tegas

Ketika si kecil mulai berteriak, cobalah mengajaknya bicara empat mata. Tataplah matanya dan mulailah berbicara dengan cara yang halus namun tegas. Cara ini membuat anak menghentikan teriakannya dan mulai mendengar apa yang Anda katakan.

- Alihkan potensinya

‘Kepandaian’ si kecil bersuara keras bisa saja dialihkan. Ajak ia mengeluarkan suaranya dengan berkaraoke, bernyanyi bersama, atau memainkan alat musik. Siapa tahu cara ini dapat mengalihkan keinginan anak berekspresi dengan cara yang lebih manis.

- Bantu mengatur volume suara

Terkadang anak tidak dapat mengatur volume suaranya karena tidak ada masukan dari orang-orang di sekitarnya. Beri masukan mengenai volume suara yang tidak mengganggu lingkungan. Beri tahu anak sebesar apa suaranya diperbolehkan di dalam ruangan yang berbeda dengan di luar ruangan.

- Permainan mengontrol suara

Ada beberapa permainan yang dapat membantu si kecil mengontrol suaranya, seperti permainan saling bisik. Berikan suatu kata yang harus disampaikan pada temannya dengan cara berbisik agar lawannya tidak mendengar apa yang dikatakannya.

Esthi Nimita Lubis

Spektrum Autisme, Perlu Terapi Terpadu

Gangguan perilaku pada anak ini dikabarkan meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Untuk saat ini, terapi terpadu bisa jadi solusi!

Boleh dibilang, kata “autisme” seakan-akan jadi momok bagi banyak orang tua. Tidak heran, karena jumlah angka kejadiannya di seluruh dunia terus meningkat. Bagaimana di Indonesia?

Sama juga sih. Jumlah penderitanya juga terus bertambah. Mungkin ini ada hubungannya dengan kesadaran masyarakat akan adanya gangguan perkembangan ini. Sayangnya, belum ada data yang menunjukkan berapa persis angka kejadian penderita autisme di Indonesia.

Kenali varian autisme

Sebenarnya, spektrum autisme adalah gejala autisme, mulai dari yang ringan sampai berat. Dan ternyata, bertambahnya kasus autisme bukan hanya pada kasus autisme klasik ala Kanner saja (simak boks “Apa itu Autisme?”), tapi juga pada varian autisme yang lebih ringan, seperti sindroma Asperger dan atipikal autisme. Apa bedanya sih?

Sindroma Asperger adalah gangguan perkembangan dengan gejala berupa gangguan dalam bersosialisasi, sulit menerima perubahan, suka melakukan hal yang sama berulang-ulang, serta terobsesi dan sibuk sendiri dengan aktivitas yang menarik perhatian. Umumnya, tingkat kecerdasan si kecil baik atau bahkan lebih tinggi dari anak normal. Selain itu, biasanya ia tidak mengalami keterlambatan bicara.

Sedangkan atipikal autisme adalah jenis autisme yang tidak memenuhi kriteria gangguan autisme yang disyaratkan oleh DSM-IV (panduan dalam menegakkan diagnosa gangguan mental). Meski begitu, si kecil juga mengalami kesulitan dalam berinteraksi sosial dan berkomunikasi secara timbal balik. Mungkin juga ia tidak menunjukkan gejala yang khas. Atau, bisa juga gejala-gejalanya lebih ringan dari penyandang autisme klasik.

Penanganan musti pas!

Agar anak dapat “keluar” dari gangguan ini, memang diperlukan intervensi. Nah, bentuk intervensi itu bisa bermacam-macam, tergantung metode yang dianut oleh pusat penanggulangan masalah perilaku atau perkembangan anak. Menurut dr. Dewi K. Utama, Sp.A, dari Pediatric Therapy Clinic , Bandung, salah satu penanganan anak dengan gangguan spektrum autisme adalah terapi perkembangan terpadu.

Nah, terapi itu sendiri terdiri dari terapi okupasi dengan penekanan pada terapi Sensory Integration (Integrasi Sensorik) yang dipadu dengan metode Floor Time. Namun, bila anak memerlukannya, masih ditambah lagi dengan Strategi Visual. Kenapa bisa begitu?

“Terapi Sensory Integration dan Floor Time diberikan setelah anak diketahui menyandang gangguan semua spektrum autisme. Sedangkan Strategi Visual baru diberikan bila anak sudah benar-benar siap menerima terapi ini. Nah, kesiapan ini akan dinilai oleh terapis, dokter dan psikolog yang menangani anak,” ujar dr. Dewi.

Bila terapi berpadu...

Untuk meningkatkan kemampuan anak dalam bersosialisasi dan berkomunikasi, terapi Sensory Integration harus dipadukan dengan metode Floor Time . Apa itu Floor Time ? “Secara harafiah, Floor Time adalah bermain di lantai. Metode bermain interaktif yang spontan dan menyenangkan bagi anak ini bertujuan mengembangkan interaksi dan komunikasi si kecil. Floor Time bisa dilakukan oleh orang tua, terapis, kakek-nenek, maupun pengasuh si kecil nantinya,“ jelas Dra. Linda Gunawan, Psi ., mitra dr. Dewi di Klinik Perkembangan Anak RS Bunda, Jakarta.

Bagaimana bentuk permainannya? Bisa apa saja sih. Yang penting, permainannya interaktif dan komunikatif. Misalnya, bermain lilin bersama, bermain pura-pura (Anda jadi singa dan si kecil sebagai mangsa), dan sebagainya. Sebaiknya, metode ini dilakukan 6-10 kali sehari, masing-masing selama 20 -30 menit. Yang penting nih, lawan bermain harus sabar dan santai dalam melaksanakan metode ini. Sebab, Floor Time bertujuan membentuk komunikasi dua arah antara anak dan lawan bicaranya, serta mendorong munculnya ide dan membantu anak mampu berpikir logis. Agar bisa melakukan Floor Time dengan baik, orang tua perlu bimbingan psikolog yang paham dan berpengalaman dengan metode ini.

Lalu apa yang disebut dengan Strategi Visual? Menurut dr. Dewi, “Umumnya, penyandang gangguan spektrum autisme lebih mampu berpikir secara visual. Jadi, ia lebih mudah mengerti apa yang dilihat ketimbang apa yang didengar.” Makanya, Strategi Visual dipilih agar si kecil lebih mudah memahami berbagai hal yang ingin Anda sampaikan. Biasanya, ia akan diperkenalkan pada berbagai aktivitas keseharian, larangan-aturan, jadwal, dan sebagainya lewat gambar-gambar. Misalnya, gambar urutan dari cara menggosok gigi, mencuci tangan, dan sebagainya.

Nah, dengan Strategi Visual, diharapkan anak bisa memahami situasi, aturan, mengatasi rasa cemas, serta mengantisipasi kondisi yang akan terjadi. “Kalau sudah begini, berbagai perilaku yang seringkali menyulitkan, seperti sulit berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas lain, sulit memahami urutan suatu aktivitas, rasa marah atau cemas bila tidak tahu apa yang akan dikerjakan atau terjadi, dan sebagainya, bisa diminimalkan. Si kecil pun akan menunjukkan perilaku yang lebih sesuai dengan lingkungannya,” kata dr. Dewi lagi.

Perlu kerjasama semua pihak

Biar gangguan spektrum autisme bisa diatasi secara optimal, memang diperlukan kerjasama yang sangat erat antara orang tua, terapis, dokter, psikolog, serta juga guru di sekolah. Ini bila si kecil telah bersekolah lho. “Guru perlu tahu kalau penanganan anak autisme sangat berbeda dengan anak normal lainnya. Dengan begitu, penanganan si kecil bisa lebih baik lagi,” jelas dr. Dewi.

Nah, dalam kerjasama tim ini, orang tua adalah anggota tim yang memegang peranan yang terbesar. Kenapa? “Orang tua adalah orang yang paling dekat dengan anak. Untuk mencapai hasil yang diharapkan, semua ini sangat tergantung pada usaha Anda,” sambungnya.

Laila Andaryani Hadis

Bahan: Seminar Ilmiah Populer “Penanggulangan Gangguan Spektrum Autisme” yang diadakan Klinik Perkembangan Anak, RS Bunda, Jakarta, Agustus 2004.
Pengarah gaya: Natalia Kartika
Foto: Denny Herliyanso
Cat: Foto diperagakan oleh model

Tersiram Air Panas

Perhatikan kondisi luka yang dialami si kecil. Karena, tidak semua anak dengan luka bakar tersiram air panas perlu dibawa ke dokter.

Luka tersiram air panas termasuk luka bakar. Nah, untuk memudahkan perawatan, perlu juga diketahui beratnya luka bakar tersebut.

Tentukan berat ringannya

Beratnya luka bakar dibagi menjadi tiga derajat, yaitu:

- Luka bakar derajat satu , jika kulit yang tersiram air panas memerah dan terasa nyeri. Biasanya, sembuh dalam waktu seminggu.

- Luka bakar derajat dua , bila kulit memerah, nyeri, serta timbul juga gelembung (melepuh). Ini berarti ada kerusakan pada lapisan kulit, otot, dan lemak. Umumya, bisa sembuh dalam waktu dua minggu, bila tanpa infeksi.

- Luka bakar derajat tiga , kalau timbul kerusakan yang lebih dalam lagi. Badan yang terkena akan tampak hangus atau kehitaman.

Jangan panik

Memang, siapa sih yang tidak kaget mendengar jeritan kesakitan si kecil akibat tersiram air panas? Sebaiknya segera atasi perasaan itu, agar Anda bisa memberi pertolongan pertama padanya.

- Bila bagian tubuh yang tersiram air panas tidak tertutup pakaian, langsung siram secara perlahan-lahan dengan air putih dingin sekitar 10 menit.

- Bila yang tersiram adalah bagian tubuh yang tertutup pakaian, siram langsung bagian tersebut. Setelah itu, baru buka pakaian si kecil dengan hati-hati. Bila ini sulit dilakukan, gunting saja pakaian atau celana yang dipakainya, lalu siram lagi bagian yang terluka itu dengan air dingin.

- Kompreslah dengan kain bersih yang diberi air dingin sampai rasa sakitnya berkurang. Anda boleh memberinya parasetamol atau asetaminofen untuk mengurangi rasa sakit si kecil.

- Tutup/balut bagian tubuh yang terluka dengan kain kassa steril untuk menghindari kemungkinan terjadinya infeksi. Sebelumnya, oleskan salep khusus untuk luka bakar atau salep antibiotik. Jangan balut luka terlalu kencang, dan balutan harus melebihi bagian yang luka.

Kapan harus ke dokter?

Pada luka bakar derajat pertama, sebenarnya Anda tidak perlu membawa si kecil ke dokter. Apalagi, bila Anda merasa mampu atau yakin untuk melakukan pertolongan pertama padanya. Namun, pada luka bakar dengan derajat lebih tinggi, mengenai muka dan mata atau bagian tubuh yang luas (lebih dari 20%), ia harus cepat-cepat dibawa ke dokter atau Unit Gawat Darurat. Juga, periksakan segera si kecil ke dokter bila rasa sakitnya tidak hilang setelah 2 hari.

Selain merusak kulit dan jaringan setempat, luka bakar juga bisa mengakibatkan hilangnya cairan dan elektrolit. Akibatnya, darah jadi lebih kental. Nah, keadaan ini bisa menimbulkan syok. Itu sebabnya, pengobatan terhadap luka bakar meliputi obat setempat untuk kulit, obat antiinfeksi, obat penghilang nyeri, dan cairan (pada kasus yang berat perlu dipasang infus).

Dewi Handajani

Konsultasi ilmiah: dr. Hj. Siti Komariah, Bagian Unit Gawat Darurat, RS Islam Cempaka Putih, Jakarta.

TB Masih Mengancam Balita

Meski sudah ada obatnya, jumlah penderita TB anak di Indonesia ternyata tak kunjung turun. Tak ada salahnya berhati-hati.

Siapa sih yang tak kenal penyakit Tuberkulosis atau TB? Apalagi, penyakit infeksi ini tidak pilih-pilih mangsa. Kaya atau miskin sama saja. Bukan tak mungkin, si kecil juga bisa jadi sasaran empuknya.

Gara-gara orang dewasa

Sebenarnya, balita akan tertular TB, jika ada penderita TB dewasa di sekitarnya. Ini bisa berarti ayah, ibu, kakek, nenek, pengasuh, supir, saudara, atau orang dewasa lain. Ya, penularan TB memang melalui udara. Ketika batuk, maka penderita TB akan menebarkan kuman. Nah, kuman ini terhirup oleh si kecil, lalu melewati saluran napas dan paru-parunya

Menurut dr. Bambang Supriyatno, Sp.AK , Ketua UKK Pulmonologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, “Berdasarkan teori, kalau ada orang dewasa terbukti TB positif, maka kira-kira 65% orang di sekitarnya akan tertular. Dari 65% orang ini, sekitar 16% di antaranya akan TB aktif. Jadi, bila ada 1 orang dewasa TB positif, maka kira-kira 10% orang di lingkungannya akan TB aktif. Masalahnya, jika 10% dari orang-orang ini adalah orang dewasa, dia berpotensial menularkannya lagi ke anak-anak.“

Sebaliknya, kalau ada anak yang positif TB, pastilah ia tertular orang dewasa di lingkungannya. Jadi, orang itu mesti dicari biar lingkungan benar-benar bebas TB,” ungkap Kepala Divisi Respirologi IKA FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo. Ini berarti, semua orang dewasa dalam rumah si kecil perlu diperiksa, tanpa kecuali.

Gampang dideteksi

Sebenarnya, cara paling ampuh untuk mendiagnosis TB adalah, dengan melakukan pemeriksaan dahak. Sayangnya, pemeriksaan ini susah dilakukan pada anak-anak. Tak mudah kan menyuruh anak kecil berdahak? Apalagi, seringkali dahak malah ditelannya, sehingga masuk pencernaan.

Jadi, pendeteksian TB pada anak biasanya dilakukan dengan cara memeriksa cairan lambungnya. Hanya saja, akurasi pemeriksaan ini jauh lebih rendah ketimbang pemeriksaan dahak.

Lalu, bila anak dicurigai menderita TB, dokter akan melakukan serangkaian tes. Setelah pemeriksaan fisik, juga akan dilakukan pemeriksaan rontgen dan uji tuberkulin (uji Mantoux). Apa itu uji Mantoux? Menyuntikkan ekstrak protein dari kuman TB ke dalam kulit. Jika reaksi kulit si kecil adalah menonjol dengan garis tengah sama atau lebih dari 10 mm, ini dapat berarti ia pernah berkontak dengan orang dewasa penderita TB.

Kuman super bandel

Bila anak berkontak dengan penderita TB, sebenarnya belum tentu ia langsung sakit. Kalau sel darah putih yang notabene berfungsi sebagai pasukan pertahanan tubuhnya kuat, maka kuman-kuman TB akan langsung mati.

Namun, bisa juga kuman yang super bandel itu berhasil masuk ke tubuh. Nah, kuman yang lolos sensor ini dibagi jadi 2. Pertama, kuman yang tenang-tenang saja berada dalam tubuh dan jumlahnya hanya sedikit. Kedua, kuman yang masuknya “serombongan” serta biasanya aktif. Sebagai catatan, masa inkubasi (masa antara masuknya kuman ke dalam tubuh hingga timbul gejala penyakit) penyakit ini sekitar 2-10 minggu.

Kalau sudah begini, bagaimana cara menangani si kecil? Ia perlu minum obat-obatan. Umumnya, masa pengobatan berlangsung selama 6 bulan. Sayangnya, selesai pengobatan, kuman TB dalam tubuh si kecil tidak akan lenyap 100%. Selalu saja ada kuman yang tertinggal dan terus menghuni tubuhnya. Di mana sih tempat favorit kuman super bandel itu? Di paru-paru kanan atas.

Meski kuman kelihatannya tenang, ini bukan berarti kondisi anak pasti aman. Sekalipun sudah pernah terkena TB dan telah menjalani pengobatan secara tuntas, tetap saja ia jadi incaran kuman yang hobinya ngendon itu. Belum lagi, kalau kondisi si kecil memburuk, seperti menderita campak, mau tidak mau kuman TB jadi aktif. Nah, kondisi seperti ini disebut reaktifasi. “Makanya, tubuh anak harus terus dijaga hingga dewasa kelak. Dengan begitu, kuman itu tidak sempat jadi aktif. Sayangnya, kasus yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah jenis yang reaktifasi ini,” kata dr. Bambang.

Untung bisa dicegah

Hingga kini, cara terbaik mengurangi risiko terinfeksi TB adalah melakukan imunisasi BCG pada bayi usia 2 bulan. Meski tidak bisa melindungi 100%, imunisasi ini bisa menghindari anak dari risiko akibat memberatnya infeksi TB yang dideritanya. Misalnya, kuman menyebar ke otak dan menyebabkan radang selaput otak.

Apa lagi? Oke, si kecil telah diimunisasi BCG. Namun, kalau selama masa pertumbuhan, ia tidak memperoleh gizi yang baik, tubuhnya tidak pernah sehat dan bugar, bahkan masih ditambah lagi dengan kondisi lingkungannya tidak sehat (kotor dan lembap), ya TB akan terus mengintainya.
Jadi, kalau mau balita Anda terhindar dari TB, segeralah benahi pola hidupnya. Caranya? Selalu mengonsumsi makanan bergizi seimbang, rajin berolahraga, cukup istirahat, serta menjaga kebersihan lingkungan.

Nia L.T.

Jangan Biarkan Si Kecil Selesma

Balita sering jadi sasaran selesma. Jangan abaikan penyakit ini karena bisa “mengundang” penyakit lain.

Anggapan bahwa demam dan pilek adalah penyakit tersendiri memang benar-benar keliru. Sebab, keduanya jadi bagian dari gejala selesma ( common cold/coryza ). Yang pasti, balita sering jadi sasaran empuk penyakit ini. Maklumlah, daya tahan tubuhnya terhitung rentan, sehingga ia gampang tertular penderita selesma di sekitarnya. Bahkan, dalam setahun ia bisa kena selesma sampai 6-9 kali!

Virus, si biang keladi

Biang keladi dari selesma adalah berbagai virus. Salah satu di antaranya, virus influensa.

Walau sering dianggap ringan, WHO atau Badan Kesehatan Dunia melaporkan, penyakit ini sudah beberapa kali menimbulkan epidemi. Misalnya, flu Hongkong, flu Spanish, dan yang paling terakhir adalah flu burung. Bukan apa-apa. Beberapa penderita dari epidemi flu ini bisa berujung dengan kematian.

Ini dia gejalanya

Sebenarnya, selesma ditandai dengan berbagai gejala, yakni:

- Pilek.
- Batuk.
- Demam.
- Letih-lesu.

Kenapa sih , si kecil bisa sampai pilek? Saat virus masuk ke dalam tubuhnya, timbul respons dari sistem kekebalan tubuh berupa pembengkakan dan peradangan pada membran hidung. Nah, virus tersebut akan merusak sel-sel lendir dan fungsi normal dari hidung. Produksi lendir pun meningkat. Tak heran kalau si kecil jadi pilek dan bersin-bersin.

Sementara itu, batuk terjadi akibat virus yang menyerang tenggorokan menyebabkan sel-sel lendir memperbanyak diri dan dindingnya menebal. Tenggorokan pun gatal, dan merangsang batuk. Jika si kecil bersin atau batuk, virus ini akan “meloncat” keluar dan menulari orang di dekatnya.

Bagaimana dengan demam? Demam itu sendiri adalah reaksi tubuh si kecil saat melawan infeksi. Sementara itu, letih-lesu terjadi karena anak yang sedang sakit merasa badannya tidak enak.

Perlu Anda tahu, masa inkubasi selesma, yakni mulai dari masuknya virus sampai timbulnya gejala penyakit, rata-rata 2 hari dengan rentang jarak waktu antara 1-4 hari. Setelah itu, barulah timbul berbagai gejala selesma, yang akan bertahan selama 3-7 hari.

Jangan pernah sepelekan!

Meski dianggap sebagai penyakit ringan, jangan sekali-kali sepelekan selesma. Apalagi, Anda sampai membiarkan si kecil terus menerus didera berbagai gejala selesma. Bukan apa-apa. Virus yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan infeksi sekunder. Ini memang perkembangan dari selesma itu sendiri.

Selain itu, virus dapat merembet ke organ lain, seperti paru-paru. Akibatnya, si kecil terkena radang paru ( pneumonia ). Gejalanya, demam tinggi (± 38°C) dan sukar bernapas (terdengar bunyi seperti mengorok). Asal tahu saja, data Dinas Kesehatan RI menyebutkan, tiap tahunnya, dari 1000 balita yang lahir hidup, terdapat 5 kematian akibat radang paru-paru.

Penting diingat, bila menyerang otak, virus dapat menyebabkan radang selaput otak alias meningitis. Gejala-gejalanya adalah demam, muntah-muntah, lelah, dan kaku pada anggota gerak (kaki dan tangan). Bahayanya, radang selaput otak berisiko pada kematian si kecil.

“Istirahat , ya nak!”

Umumnya, penyakit yang disebabkan oleh virus akan sembuh dengan sendirinya. Meski begitu, Anda tetap tidak boleh menganggap remeh selesma yang diderita balita. Nah, agar virus enyah dari tubuh si kecil, lakukan cara di bawah ini.

- Biarkan si kecil banyak beristirahat dan benar-benar mengurangi aktivitasnya.

- Beri banyak cairan, seperti jus buah dan air hangat. Minum air hangat akan membuat lendir mudah dikeluarkan.

- Terus memberinya makanan bergizi. Dengan begitu, tubuh si kecil membentuk antibodi sendiri.

Obat mengurangi gejala

Selesma memang tidak dapat disembuhkan dengan obat-obatan apapun yang beredar di pasaran. Meski begitu, mengurangi gejalanya bisa saja dilakukan asal Anda memberinya obat yang tepat. Tentu saja, pemberian aneka obat-obatan ini tidak bisa sembarang dan harus sesuai petunjuk dokter.

- Kalau masih bayi, si kecil cukup diberi parasetamol saja. Dengan begitu, panasnya bisa turun.

- Jika anak sudah agak besar, Anda bisa berikan parasetamol untuk menurunkan panas dan efedrin, misalnya, untuk mengurangi pilek. Bagaimana dengan batuknya? Bisa dikurangi dengan obat batuk.

Laila Andaryani Hadis

Konsultasi ilmiah: dr. Hindra Irawan Satari, SpA(K), MPaed. Trop., IDAI Jaya, Divisi Infeksi dan Pediatri Tropis, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI/ RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Tertusuk Serpihan Kayu

Serpihan kayu seringkali menusuk kulit balita. Jangan panik dulu, Gampang kok mengatasinya.

Si kecil yang aktif bereksplorasi seringkali belum waspada dan tidak bisa menghindari kemungkinan terjadinya kecelakaan kecil. Salah satunya adalah, tertusuk serpihan kayu.

Memang, sepertinya sih sepele. Hanya saja, kalau serpihan itu masuk cukup dalam, dapat menyebabkan luka yang dalam di kulit. Kalau ini yang terjadi, si kecil bisa terkena infeksi tetanus.

Nah, bila balita Anda terkena serpihan kayu, inilah yang dapat Anda lakukan:

- Tanya si kecil dulu

Tanya pada si kecil di bagian tubuh mana yang tertusuk. Dengan begitu, Anda bisa tahu persis serpihan benda yang masuk ke dalam kulitnya, serta tidak akan salah bertindak.

- Segera lakukan pertolongan pertama

- Bila ujung serpihan kayu masih tersisa di luar. Anda bisa mengeluarkan serpihan kayu dengan pinset. Sebelumnya, sterilkan dulu pinset dengan alkohol 70%, atau bisa juga Anda panaskan ujung pinset. Setelah dingin, barulah pinset dapat digunakan untuk mengambil serpihan itu. Lakukan secara perlahan dan hati-hati.

- Kalau serpihan berada di jaringan kulit yang lebih dalam dari jaringan kulit ari. Gunakan jarum jahit untuk mengeluarkan serpihan. Sebelumnya, sterilkan jarum tersebut, lalu tempelkan sepotong kecil es batu pada bagian tubuh yang kemasukan serpihan selama beberapa saat. Ini bermanfaat untuk membuat bagian tubuh tersebut mati rasa (baal). Jadi, ketika Anda menusukkan jarum ke kulitnya, ia tidak akan kesakitan.

- Setelah selesai, bersihkan bagian tubuh yang tertusuk dengan sabun antiseptik dan air bersih. Boleh juga Anda oleskan cairan antiseptik pada lubang bekas serpihan. Ini untuk mencegah terjadinya infeksi.

- Tidak perlu menutup lubang tersebut dengan plester. Kecuali, kalau si kecil yang meminta Anda untuk menutup lukanya.

- Segera ke dokter , bila Anda merasa tidak cukup handal atau tidak bisa mengeluarkan serpihan itu.

Sri Lestariningsih

Menyiasati Alergi si Kecil

Daya tahan tubuh si kecil yang masih lemah membuatnya mudah alergi. Kenali gejalanya, sehingga Anda pun tepat mengatasinya.

Alergi adalah reaksi hipersensitivitas dari tubuh terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Reaksi alergi biasanya muncul kalau si kecil memang punya bakat atau kecenderungan bawaan (genetik) untuk menunjukkan reaksi yang berbeda dengan anak normal. Alergi dapat muncul di setiap organ tubuh dengan bentuk reaksi yang berbeda-beda.

Perhatikan gejalanya

Beberapa jenis alergi si kecil bisa saja cukup mudah dikenali gejalanya. Tapi, ada pula jenis alergi yang tersembunyi gejalanya atau mirip gejala penyakit tertentu. Agar tidak salah bertindak, kenali dulu gejalanya.

- Timbul bentol-bentol pada kulit atau kulit terasa gatal.

- Mata merah dan berair.

- Diare

- Si kecil sering menggaruk, mengusap, atau memegang hidung. Bersin-bersin disertai rasa gatal pada hidung, mata berair, atau berkali-kali menghembuskan udara dari hidung seolah-olah berusaha mengeluarkan sesuatu.

- Pilek yang kambuh berulang kali, dan biasanya berlangsung antara 1-2 minggu. Atau, pilek kambuh secara teratur, pada bulan-bulan tertentu, setiap tahunnya. Seringkali disertai hidung berair dan bersin-bersin.

- Tenggorokan dan mulut terasa gatal seperti ada kotoran yang menempel di dalamnya. Gatal ini kerap disertai pilek, padahal si kecil tidak flu.

- Sesak napas

Beda jenis, beda cara menanganinya

Berikut beberapa jenis alergi plus trik mengatasinya:

- Alergi pada saluran pernapasan. R eaksinya berupa asma dan pilek.

- Bersihkan rumah secara teratur agar debu tidak menumpuk, serta upayakan agar lingkungan rumah bebas dari kutu debu, tungau, dan bulu binatang.

- Hindarkan si kecil berkontak dengan tanaman berbunga, karena serbuk sari seringkali memicu timbulnya reaksi alergi pada saluran pernapasan.

- Jangan pelihara binatang di dalam rumah.

- Alergi berupa diare. Umumnya, dialami oleh si kecil yang menderita celiac disease, yakni sistem pencernaannya hipersensitif terhadap gluten (jenis protein yang terkandung di dalam biji-bijian).

- Jangan beri si kecil makanan yang mengandung biji-bijian.

- Hindari memberi makanan yang mengandung zat-zat yang dapat merangsang kerja organ pencernaan. Misalnya, cabai, merica, cuka, udang, atau makanan laut lainnya.

- Alergi berupa mata merah . Reaksi ini timbul akibat adanya benda asing yang masuk ke dalam mata balita.

- Tanamkan kebiasaan pada si kecil untuk tidak memegang-megang mata dengan tangan.

- Bila mata balita gatal, jangan biarkan ia mengucek-nguceknya, tapi berikan obat mata. Atau, segera pergi ke dokter.

- Alergi berupa kulit merah. Terjadi karena alergi terhadap makanan, obat-obatan, atau gigitan serangga.

- Periksalah apakah si kecil sebelumnya makan sesuatu yang mengandung alergen (pemicu alergi); seperti antibiotik, udang, atau digigit serangga.

- Bila kulitnya yang memerah terasa gatal, segera beri obat, lotion kalamin, bedak, minyak tawon, kayu putih, atau lainnya. Dengan begitu, gatal bisa berkurang.

- Jika rasa gatal tidak juga mereda atau hilang, cepat bawa si kecil ke dokter.

Sri Lestariningsih

Sunat, Perlu atau Tidak sih?

Umumnya, sunat hanya dikenal di kalangan umat beragama Islam dan Yahudi. Adakah manfaat lain, disamping sekadar sebagai ritual agama?

Dalam agama Islam, sunat (disebut juga khitan atau sirkumsisi) merupakan kebiasaan yang merupakan kelanjutan dari millah atau ajaran Nabi Ibrahim a.s. Kala itu, Nabi Ibrahim a.s. (80 tahun) disunat dengan alat yang disebut qadum . Sebenarnya, kapan usia yang tepat untuk disunat?

Tak dibatasi usia

Sesungguhnya, tujuan utama dari bersunat adalah membersihkan diri dari berbagai kotoran serta penyebab penyakit yang mungkin melekat pada ujung penis atau zakar yang masih ada kulupnya. Ketika bersunat, kulup yang menutupi jalan ke luar urin dibuang, sehingga kemungkinan kotoran untuk menempel atau berkumpul di ujung penis jadi lebih kecil. Ini karena penis lebih mudah dibersihkan.

Memang, sunat dapat menghindari timbulnya berbagai penyakit. Misalnya, fimosis, parafimosis, kandidiasis, serta tumor ganas dan pra ganas pada daerah alat kelamin laki-laki. Dan, terbukti pula, penis laki-laki yang disunat lebih higienis. Jadi, di masa tuanya kelak, ia jadi lebih mudah merawatnya. Dan, yang paling menarik, selain jadi lebih sensitif, tidak mudah lecet dan terkena iritasi, bersunat juga punya pengaruh terhadap kehidupan seksual laki-laki. Ia akan terhindar dari ejakulasi dini!

Meski ada seabrek manfaat sunat bagi kesehatan, para ahli di American Academy of Pediatric sejak tahun 1975 menyatakan, secara medis, tidak ada keharusan bagi bayi laki-laki yang baru lahir untuk bersunat, kecuali bila ada indikasi khusus. Misalnya, ia menderita fimosis . Begitu juga, jika bayi atau si kecil yang berusia di bawah lima tahun menderita infeksi saluran kemih.

Sebagai catatan, kelainan pada kulup penis, khususnya fimosis, biasanya dialami oleh satu dari 20 bayi laki-laki. Makanya, ia sudah bisa disunat sebelum usia dua bulan. Namun, dalam tradisi agama Islam disebutkan, anak laki-laki yang sehat harus disunat begitu menginjak usia akil balik, yakni setelah mimpi basah. Umumnya, ini terjadi ketika ia berusia lebih dari 10 tahun.

Mau cara apa?

Di dalam dunia kedokteran, inilah langkah yang dilakukan ketika menyunat si kecil, yakni:

* Mengiris kulit di bagian punggung penis (dorsumsisi). Ini dilakukan untuk mengeluarkan ujung bagian dalam penis.

* Mengiris kulit kulup yang mengelilingi penis (sirkumsisi). Dengan begitu, penis jadi terbuka.

* Dokter akan menjahit luka irisan tersebut agar penyembuhannya berlangsung cepat dan tidak timbul komplikasi.

Selain cara klasik di atas, masih ada banyak cara untuk menyunat si kecil. Di antaranya adalah:

* Cara kuno

Cara bersunat tradisional dengan menggunakan sebilah bambu tajam. Para bong supit alias mantri sunat langsung memotong kulup dengan bambu tajam tersebut.

Catatan: Cara ini mengandung risiko berupa terjadinya perdarahan dan infeksi, bila tidak dilakukan dengan steril.

* Metode cincin

Dicetuskan oleh dr. Sofin, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta , dan sudah dipatenkan sejak tahun 2001. Pada metode ini, ujung kulup dilebarkan, lalu ditahan agar tetap meregang dengan cara memasang semacam cincin dari karet. Biasanya, ujung kulup akan menghitam dan terlepas dengan sendirinya.

Catatan: Proses sunat itu sendiri cukup singkat, sekitar 3-5 menit.

* Metode mangkuk

Lebih cocok dilakukan untuk balita atau anak yang memiliki pembuluh darah pada kulup lebih kecil dari ukuran normal.

Catatan: Bila terjadi perdarahan, luka bekas kulup yang dipotong akan dijahit.

* Metode lonceng

Di sini, tidak dilakukan pemotongan kulup. Ujung penis hanya diikat erat sehingga bentuknya mirip lonceng. Setelah itu, jaringan akan mati dan terlepas dengan sendirinya dari jaringan sehat.

Catatan: Metode ini membutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar dua minggu. Alatnya diproduksi di beberapa negara Eropa, Amerika, dan Asia dengan nama Circumcision Cord Device.

* Dengan laser CO2

Ini merupakan metode sunat paling canggih yang berhasil dikembangkan hingga saat ini. (Untuk jelasnya, lihat boks “Laser CO2, Teknologi Tercanggih Sunat”).

Apapun cara yang Anda pilih, baik atau buruknya hasil ditentukan oleh kemahiran si pelaku dalam menggunakan alat atau metode tersebut. Jadi, banyak-banyaklah mencari info seputar hal ini.

Sri Lestariningsih

Konsultasi ilmiah: dr. Partini P. Trihono, Sp.AK, Divisi Nefrologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Si Kecil Keracunan Makanan?

Tak Perlu Panik

Keracunan makanan yang tidak segera ditangani, bisa berakibat fatal. Apa yang perlu diperhatikan?

Ketika anak keracunan makanan, jangan panik. Kalau Anda panik, kondisi anak malah bisa memburuk. Agar tidak salah bertindak, teliti dulu kondisi si kecil. Simak beberapa hal berikut yang sering jadi pertanyaan orang tua:

Apa saja gejalanya?

* Kram perut
* Demam
* Muntah-muntah
* Sering buang air besar yang bercampur darah, nanah, atau lendir.
* Merasa lemas dan menggigil.
* Kehilangan nafsu makan.

Catatan: Muntah-muntah dan buang air besar bisa jadi masalah serius pada bayi atau balita, karena bisa menyebabkan dehidrasi.

Berapa lama gejala akan timbul?

Gejala keracunan makanan dapat terlihat sekitar 4-24 jam setelah si kecil terkontaminasi makanan yang beracun. Gejala ini bisa berlangsung sekitar 3-4 hari. Tapi bisa jadi lebih lama lagi, jika anak yang keracunan tak sengaja masih mengonsumsi makanan yang terkontaminasi.

Catatan: Gejala akan lebih cepat terlihat pada anak kecil, karena tubuhnya lebih rentan. Misalnya, hanya 2 jam setelah ia mengonsumsi makanan yang terkontaminasi!

Tindakan pertama yang harus dilakukan

* Jika ia muntah-muntah dan sering buang air besar, periksa suhu tubuhnya. Siapa tahu ia juga demam.

* Periksa juga tinjanya. Apakah ada lendir atau darah?

* Baringkan si kecil dan jangan beri makanan yang harus dikunyah dulu. Sebagai gantinya, berikan oralit sedikit demi sedikit. Jika Anda tidak punya oralit, beri saja air yang dicampur dengan garam dan gula.

* Coba telusuri lagi apa yang menyebabkan anak keracunan.

Yang perlu jadi catatan penting

* Jika si kecil menolak minum cairan apa pun, coba berikan melon untuk dihisap-hisap. Atau, berikan saja buah tersebut dalam bentuk es mambo. Dengan begitu, tubuhnya tidak akan kekurangan cairan.

* Pada waktu pemulihan, berikan makanan yang mudah dicerna; seperti sup, yogurt atau jelly .

Catatan: Efek diare akibat keracunan ini biasanya berlangsung sekitar seminggu.

Kapan ke dokter?

* Jika ia muntah dan diare terus, sementara asupan cairan tidak bisa maksimal.

* Jika ia masih bisa dan mau minum, tetapi kondisinya tidak membaik dalam jangka waktu 12 jam. Ia masih saja diare dan demam.

Catatan: Jika dokter Anda tidak bisa segera menanganinya, cepat bawa si kecil ke UGD (Unit Gawat Darurat) rumah sakit terdekat. Bisa jadi, ia perlu diinfus.

Mungkinkah dicegah?

* Biasakan anak memperhatikan kebersihan tangan , sebab keracunan makanan sangat menular. Ia juga harus selalu mencuci bersih tangannya sehabis buang air besar.

* Jika Anda yang mengurus ‘kotoran’ si kecil , Anda juga harus selalu mencuci tangan sampai bersih sehabis membersihkan tinjanya atau mengganti popoknya.

* Simpan makanan matang ke dalam kulkas . Kalaupun mau dihangatkan, pastikan panasnya merata. Karena, Salmonella (yang jadi ‘biang keladi’ keracunan makanan) biasanya ‘senang’ dan tumbuh subur di makanan yang hangat. Tapi, bakteri ini akan mati pada temperatur yang tinggi.

* Masaklah makanan sampai benar-benar matang. Artinya, matangnya harus merata ke dalam bahan makanan.

Adakah kiatnya seputar memilih makanan?

* Ketika membeli makanan dalam kemasan , perhatikan kaleng atau tutupnya. Apakah masih mulus ataukah sudah terbuka? Apakah kalengnya agak menggelembung atau tidak? Jangan sekali-kali memilih makanan yang kemasannya cacat atau kalengnya menggelembung. Bisa jadi, makanan tersebut sudah terkontaminasi bakteri.

* Belilah daging dan makanan hasil laut di tempat yang dapat dipertanggungjawabkan kebersihannya.

* Jangan biarkan si kecil makan daging mentah. Daging yang sama sekali tidak diolah merupakan sasaran empuk bakteri penyebab keracunan makanan.

* Jangan berikan madu pada bayi di bawah usia 1 tahun. Dikhawatirkan, madu mengandung bakteri Clostridium botullinum yang dapat menyebabkan si kecil keracunan.

Ini juga Perlu Diperhatikan!

Ketika anak mengalami keracunan makanan:

* Letakkan baskom atau ember di dekat si kecil untuk wadah muntahannya.

* Jika anak demam, kompres dahi atau ketiaknya dengan handuk basah.

* Berikan air matang untuk kumur-kumur, serta air minum hangat untuk membersihkan bekas muntah dari mulutnya.

* Periksa kembali apa yang dimakan oleh si kecil selama 24 jam sebelum gejala keracunan ini muncul. Buang saja makanan, seperti daging, ikan, hasil olahan susu maupun makanan matang lainnya, yang diperkirakan jadi ‘biang keladi’ keracunan.

Hernia Bisa Berbahaya

Gangguan kesehatan ini seringkali timbul tanpa keluhan. Padahal, komplikasinya bisa berakibat fatal. Di sinilah pentingnya deteksi dini.

Hernia terjadi karena melemahnya otot dinding perut. Akibatnya, timbul benjolan atau sebagian isi dari perut keluar. Gangguan ini dapat terjadi pada semua umur. Tapi, faktor penyebabnya berbeda-beda.

Seringkali terabaikan

Pada bayi dan anak, hernia dapat terjadi pada beberapa bagian tubuhnya. Meski begitu, yang umum dikeluhkan oleh para orang tua adalah:

* Hernia pada pusar (umbilikus)

Ketika si kecil berada dalam kandungan, ada bagian dinding perut yang terbuka di bawah pusarnya. Seharusnya, lubang tersebut tertutup setelah lahir. Namun, pada beberapa bayi, proses penutupan tidak berlangsung sempurna. Bila terjadi peningkatan tekanan dalam rongga perut, misalnya karena menangis, daerah sekitar pusar tampak membesar atau menonjol.

Catatan: Hernia ini terjadi pada sekitar 20% bayi baru lahir.

* Hernia pada lipatan paha

Hernia jenis ini lebih sering dialami oleh bayi/anak laki-laki. Ini antara lain karena saluran tempat turunnya buah pelir dari rongga perut ke kantung buah pelir pada sekitar 4% bayi laki-laki (dan lebih dari 30% bayi prematur) tetap terbuka saat lahir. Ukuran lubang cukup besar, sehingga sebagian usus bayi bisa turun ‘mengikuti’ buah pelir membentuk benjolan (kurang-lebih sebesar ibu jari orang dewasa).

Catatan: Hernia lipatan paha sering dikira sebagai hidrokel (cairan di kantung buah pelir). Padahal, itu adalah dua hal yang berbeda. Hanya dokter yang bisa membedakan kedua hal ini.

* Hernia diafragmatik

Pada hernia yang terjadi di sekat rongga dada dan perut ini, sebagian usus (dan dapat disertai isi rongga perut lain) masuk ke dalam rongga dada. Akibatnya, bayi baru lahir sering langsung sesak dan biru. Bila ini yang terjadi, ia perlu penanganan segera oleh dokter.

Adanya benjolan di tempat-tempat tersebut seringkali terabaikan oleh para orang tua. Apalagi, bila si kecil tidak mengeluh atau merasa sakit. Kurangnya perhatian orang tua ini mungkin saja terjadi karena benjolan adakalanya hilang (misalnya ketika berbaring) dan timbul kembali (misalnya jika berdiri atau menangis).

Hati-hati, bisa terjadi komplikasi

Secara garis besar, hernia terdiri dari cincin, kantung dan isi hernia (misalnya usus atau jaringan penyangga usus)

Biasanya, bayi/anak yang mengalami hernia baru merasa sakit atau nyeri bila isi hernia terjepit oleh cincin hernia. Bila tidak segera ditangani, jiwa si kecil mungkin saja terancam (lihat boks “Bisa Berbahaya lho...”).

Khusus hernia lipatan paha yang dapat keluar masuk sendiri (hilang-timbul), risiko untuk usus terjepit cincin hernia jadi lebih kecil ketimbang bila usus tersebut keluar saat si kecil batuk atau mengejan. Hernia bisa hilang timbul bila cincin hernianya relatif lebih longgar.

Cuma, bila usus yang terjepit, gejala yang timbul menyerupai gejala usus yang mengalami sumbatan. Misalnya, muntah, perut kembung, serta gangguan buang air besar. Jika tidak segera ditangani, jepitan cincin hernia bisa mengganggu aliran darah ke usus. Akibatnya, bisa terjadi kerusakan jaringan usus.

Makanya, begitu teraba atau terlihat ada benjolan di pusar atau lipatan paha si kecil, sebaiknya segera bawa ia ke dokter. Apalagi, bila benjolan tersebut tiba-tiba membesar, mengeras atau warnanya jadi gelap. Tindakan Anda ini bisa mencegah terjadinya komplikasi.

Benarkah harus operasi?

Saat pemeriksaan, dokter akan meraba isi hernia dengan ujung jarinya. Dengan begitu, ia bisa tahu apakah isi hernia masih bisa dimasukkan kembali ke tempatnya semula tanpa operasi atau tidak.

Pada bayi/anak, proses masuknya kembali isi hernia bisa terjadi secara spontan. Ini karena cincin hernia pada anak masih elastis, terutama bila lubang hernia pusarnya lebih kecil dari 1 cm. Umumnya, cincin hernia pada pusar yang tanpa komplikasi ini akan tertutup sendiri ketika ia berusia 12-18 bulan.

Jadi, si kecil tidak perlu dioperasi. Tutup saja lubang hernia dengan kain kasa yang diberi uang logam di dalamnya, lalu tempelkan di atas pusar. Operasi baru dilakukan bila ukuran lubang hernia si kecil sekitar 1,5 cm atau lebih. Pada kondisi seperti ini, lubang tidak mungkin menutup sendiri. Meski begitu, operasi bisa saja dilakukan secara terencana bila hernia tetap ada sampai anak memasuki usia sekolah.

Untuk hernia pada lipatan paha, operasi adalah terapi terbaik. Karena, pada hernia jenis ini risiko untuk terjadi jepitan jauh lebih besar. Operasi harus segera dilakukan untuk menyelamatkan organ yang terjepit dalam kantung hernia. Biasanya, operasi dilakukan bila hernia menetap sampai si kecil berusia 3 bulan.

Usai operasi, orang tua sebaiknya tetap memantau kondisi si kecil. Sebab, hernia dapat kambuh lagi bila terjadi peningkatan tekanan di dalam perut. Misalnya, ia batuk hebat atau sembelit.

Dewi Handajani

Konsultasi ilmiah: dr. Setyadewi Lusyati, Sp.A, KK Perinatologi, RSAB Harapan Kita, Jakarta.

Gemuk Memang Lucu, Tapi Tidak Sehat!

Jika si kecil Anda dipuji orang karena gendut dan lucu, jangan bangga dan gembira. Anda justru harus waspada. Mengapa?

Mulai hari ini, buanglah jauh-jauh anggapan anak gemuk itu lucu dan sehat. Persepsi ini salah. Jika ia nampak lucu, mungkin itu benar. Tapi kegemukan adalah masalah kesehatan. Kalaupun jika tidak terjadi sekarang, kemungkinan besar tidak lama lagi gangguan akan menimpa si anak “lucu” itu. Pendeknya, lebih dari usia satu tahun, bobot anak yang berlebih menyimpan masalah kesehatan di kemudian hari.

Menurut wawancara dengan beberapa dokter yang pernah mengadakan survei di beberapa sekolah dasar di Jakarta, ternyata jumlah obesitas anak di Indonesia tidak lah sedikit. Angkanya berkisar antara 10-30%.

Kenapa bisa kegemukan?

Pada dasarnya, kegemukan (obesitas) terjadi karena ketidakseimbangan antara masuk dan keluarnya energi. “Akibatnya, terjadilah kelebihan energi, yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak,” demikian penjelasan Dr. dr. Damayanti Sjarif, Sp.A(K) dari Divisi Gizi dan Penyakit Metabolik, RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Sembilan puluh persen kegemukan adalah akibat makan belebihan. Ini disebut kegemukan primer. Sepuluh persen sisanya kegemukan karena penyakit atau gangguan hormonal atau gangguan yang diturunkan. Mereka ini masuk kelompok kegemukan sekunder.

Sebenarnya, kegemukan primer dapat dikendalikan. Kuncinya, waspada sejak dini. Apalagi, kegemukan jenis ini biasanya terjadi akibat interaksi berbagai faktor, yang dikelompokkan jadi faktor genetik dan lingkungan.

Faktor genetik, berarti sudah bawaan si anak. “Dari penelitian terbukti, jika kedua orang tua menderita kegemukan, sekitar 80% anaknya akan kegemukan. Bila hanya salah satu orang tua yang kegemukan, risikonya jadi 40%. Kalau keduanya tidak kegemukan, risikonya turun lagi tinggal 14%,” jelas Dr. Damayanti, yang juga seorang pakar gangguan metabolisme pada anak.

Sementara faktor lingkungan yang ikut berperan besar adalah faktor nutrisi, mulai dari jenis makanan sampai perilaku makan yang berlebihan -- baik porsi maupun frekuensinya. Tentunya, aktivitas fisik yang kurang, akibat obat (steroid), atau faktor gaya hidup juga amat berpengaruh.

Ancaman tak terasa

Memang, anjuran agar dampak kegemukan dievaluasi sejak dini bukannya tanpa dasar. Dari penelitian Angulo A & Lindor KD (2001), 40% anak kegemukan yang diperiksa melalui skrining USG hati ternyata mengalami gangguan penyakit hati (NASH atau Non Alcoholic Steatohepatitis ) yang dapat berlanjut jadi pengerutan jaringan hati, bahkan kanker hati. Penurunan berat badan diduga akan menormalkan kadar enzim hati dan juga ukuran hati.

Tak hanya itu. Penyumbatan atau gangguan saluran pernapasan ketika tidur juga sering dialami si bongsor. Gejalanya mulai dari mengompol sampai mengorok. Ia juga bisa mengalami gangguan saluran pernapasan, akibat adanya penebalan jaringan lemak di tenggorokan, yang seringkali diperberat oleh pembesaran jaringan amandel.

Penyumbatan saluran napas di malam hari yang terus-menerus ini menyebabkan si kecil tidur gelisah serta menurunkan asupan oksigen ke tubuhnya. Akibatnya, ia akan mengantuk dan tampak lelah besoknya. Kalau sudah begini, ia akan merasa tidak nyaman. Dan akan susah bagi si kecil untuk bertingkah lucu atau menggemaskan kalau keadaannya seperti itu, bukan?

Gejala-gejala ini umumnya berkurang seiring dengan penurunan berat badan. Atau, gejala menurun setelah dilakukan operasi amandel serta pemakaian CPAP ( Continuous Positive Airway Pressure ). CPAP adalah alat bantu untuk menguatkan tekanan udara ketika bernapas. Dengan begitu, saluran pernapasan si kecil bisa terbuka.

Jika kegemukan terus berlanjut sampai mereka besar, berbagai risiko yang mengancam makin dekat dengan kenyataan. Ahli obesitas dari Yale University, Kelly D. Brownell, Ph.D, berkomentar, “Anak Amerika zaman sekarang bisa diperkirakan akan jadi generasi pertama yang punya usia lebih pendek daripada generasi orang tuanya. Kemungkinan ini terlihat dari berbagai risiko penyakit yang lebih mudah hinggap pada anak-anak yang kegemukan.”

Mungkin cuma ‘efek akordeon’

Karena kegemukan adalah ancaman tersembunyi, maka pertambahan berat badan si kecil harus benar-benar diperhatikan. Sangat gampang untuk mengetahui apakah si kecil kegemukan atau tidak. Gejalanya juga bisa dilihat secara kasat mata (lihat boks “Inilah Anatomi si Gemuk”).

Hanya saja, umumnya secara alamiah anak-anak terlihat gemuk pada usia perkembangannya, namun jadi kurus lagi pada usia tertentu. “Seperti efek akordeon,” begitu Robert Murray, MD, Direktur dari Center for Nutrition and Wellness di Children’s Hospital, Colombus, Ohio, Amerika Serikat, mengistilahkannya.

Jadi, Anda boleh saja senang dengan pipi gembil, lucu dan tubuh gemuk si kecil paling tidak sampai tahun pertama usianya saja. Setelah itu, IMT (Indeks Massa Tubuh) secara bertahap akan menurun sampai ia berusia 5-6 tahun.

Usia sekitar 5–6 tahun adalah titik balik kegemukan. Setelah itu, secara bertahap si kecil akan agak berisi lagi sampai memasuki masa remaja awal (sekitar 10 tahunan). Lalu, ia cenderung kurus kembali ketika pertambahan tingginya mulai pesat. Yaitu, pada anak perempuan sekitar usia 12-13 tahun, sedangkan pada anak laki-laki kira-kira usia 14-15 tahun.

Sekalipun begitu, beberapa penelitian menunjukkan, semakin dini si kecil mencapai titik balik kegemukan, semakin besar kecenderungannya mengalami kegemukan di kemudian hari. Penyebabnya memang belum diketahui. Namun, ada penelitian lain yang juga mendukung. Bila si kecil cenderung mengalami kegemukan pada usia 5 tahun, maka ia berisiko tinggi untuk kegemukan pada usia 10 tahun kelak.

Segeralah bertindak!

Anda, sebagai orang tua, bisa berperan besar dalam menjaga kesehatan buah hati tercinta. Caranya?

Pertama-tama, atur pola makan si kecil. Ini berarti, pilihan menu makanan si kecil harus sehat dengan zat-zat gizi yang seimbang. Juga, jumlah makanannya mesti pas. Tidak terlalu banyak, namun tidak juga terlalu sedikit porsinya. Aturan ini tidak hanya berlaku untuk si balita Anda, tetapi juga seluruh keluarga.

Cara lain adalah meluangkan waktu untuk mengajak si kecil lebih banyak beraktivitas fisik. Dengan beraktivitas fisik, energi yang keluar diharapkan bisa seimbang dengan banyaknya makanan yang dikonsumsi.

Sebenarnya, pencegahan kegemukan bisa dimulai dari pemberian ASI secara eksklusif. Sebab, pemberian ASI tidak akan membuat intake susu si kecil berlebihan. Sementara itu, jika balita diberi susu formula, orang tua cenderung memaksanya menghabiskan semua susu yang sudah ada dalam botol.
Jadi, jangan tunggu lama-lama, jika Anda atau suami sudah kegemukan plus banyak yang “memuji” betapa gemuknya si buah hati Anda. Takut balita Anda keburu kegemukan. Segera bertindak ya!

Jumlah Kasus

Di Indonesia, angka kejadian kegemukan di beberapa SD di Jakarta menunjukkan angka antara 10–30%.

Para Dokter sangat menganjurkan pencegahan ataupun penanganan dini. Asal tahu, tekanan darah tinggi (hipertensi) bisa ditemukan pada sekitar 20-30% anak yang kegemukan. Karena itu segera ukur berat badan anak Anda.

Beberapa Risiko

- Penyakit jantung dan pembuluh darah, seperti pembesaran jantung atau peningkatan tekanan darah.
- Gangguan metabolisme glukosa. Misalnya, intoleransi glukosa.
- Gangguan kedudukan tulang, berupa kaki pengkor atau tergelincirnya bagian sambungan tulang paha (terutama pada anak laki-laki).
- Gangguan kulit, khususnya di daerah lipatan, akibat sering bergesekan.
- Gangguan mata; seperti penglihatan ganda, terlalu sensitif terhadap cahaya, dan batas pandangannya jadi lebih sempit.

Inilah “Anatomi” Si Gemuk

- Wajah membulat
- Pipi tembem
- Dagu rangkap
- Leher relatif pendek.
- Dada membusung, dengan payudara yang membesar karena mengandung jaringan lemak.
- Perut membuncit disertai dinding perut yang berlipat-lipat.
- Kedua tungkai umumnya berbentuk X, dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel dan bergesekan. Akibatnya, timbullah lecet.
- Pada anak laki-laki, penis tampak kecil karena tersembunyi dalam jaringan lemak. Makanya, orang tua sering jadi sangat khawatir.

Bentuk Tubuh Anak

- Apple shape body: Jika lemak lebih banyak berada di bagian atas tubuh, yaitu dada dan pinggang. Bentuk tubuh ini berisiko lebih besar terkena penyakit kardiovaskular, hipertensi dan diabetes dibandingkan pear shape body.
- Pear shape body: Bila lemak lebih banyak di bagian bawah tubuh, yakni pinggul dan paha.
- Intermediate: Bentuk pertengahan antara keduanya .

Hiperaktif, “Anak Nakal” yang Butuh Pertolongan

Anak yang lasak bergerak sering dicap nakal. Padahal, mungkin saja ia bukan sembarang nakal tapi ada gangguan…

Memasuki usia 4 tahun, polah Rio benar-benar membuat orang tuanya kewalahan. Ia lasak bergerak. Seolah-olah tidak kenal arti lelah. Juga, teman atau anak sebayanya sering menangis setelah ‘disapa’ Rio. Ia pun dijauhi dan mendapat cap anak nakal.

‘Nakal’ seperti Rio adalah ciri dari anak yang menderita Attention Deficit Hiperactive Disorder (ADHD) atau Gangguan Pemusatan Perhatian & Hiperaktivitas (GPPH). Dan, hubungan sosial si penderita dengan lingkungannya memang kerap jadi terganggu.

Masalahnya, jumlah penderita ADHD di Indonesia cenderung terus meningkat. Mengapa?

Bisa cuma aktif

Balita Anda kelihatan aktif? Sebenarnya, itu wajar-wajar saja. Karena, inilah usia di mana anak sedang giat-giatnya mengeksplorasi lingkungannya. “Dalam rentang usia itu, balita berada dalam fase otonomi atau mencari rasa puas melalui aktivitas geraknya. Tapi, kalau ia terlalu aktif atau malah hiperaktif, tentu saja ini tidak wajar!” tegas dr. Dwijo Saputro, psikiater anak dan Pimpinan “SmartKid”, klinik perkembangan anak dan kesulitan belajar di Jakarta.

Farhan, presenter kondang, langsung menyadari kalau anak sulungnya, Ridzky (5 tahun), kelewat aktif. “Kalau lagi senang, ia sering memutar-mutarkan badannya, berteriak-teriak, lari ke sana-sini, serta lari berputar-putar mengelilingi sebuah benda. Kalau dia senang dengan suatu gambar, langsung deh gambar itu dirobek-robek,” katanya.

Namun, Kristi Meisenbach Boylan , penulis yang tinggal di Texas, Amerika Serikat, mengaku agak kaget juga ketika dihadapkan pada kenyataan anak keduanya, Brandan , termasuk anak dengan kebutuhan khusus. Padahal, awalnya ia mengira Brandan hanya agak aktif saja.

Lalu, kapan anak disebut hiperaktif? “Terus terang, tidak ada alat ukur yang bersifat obyektif dan tegas untuk menentukannya. Karenanya, para ahli sepakat menentukan sejumlah kriteria yang menjadi ciri khas. Dan, sebelum memastikannya, akan dilakukan diagnosa berdasarkan panduan sejumlah kriteria yang dibuat oleh Perhimpunan Psikiater Anak di Amerika Serikat, yakni Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders ( DSM). Yang terbaru saat ini adalah DSM Seri 4,” jelas dr. Dwijo yang mengambil spesialisasi psikiatri dari Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, tahun 1983.

Untuk gampangnya, ADHD bisa digolongkan menjadi beberapa tipe. Kalau anak memiliki kriteria konsentrasi buruk dan hiperaktif, maka gangguannya disebut ADHD tipe kombinasi. Jika kriterianya sulit berkonsentrasi, anak termasuk penderita ADHD tipe sulit konsentrasi. Lalu, anak yang menunjukkan perilaku hiperaktif dan impulsif saja tergolong sebagai penderita ADHD hiperaktif-impulsif. “Kadang-kadang, ada juga anak yang sekilas kriterianya mirip ADHD. Tapi, setelah diperinci satu demi satu, ternyata tidak ada yang cocok. Nah, ini termasuk ADHD tidak tergolongkan,” jelas dr. Dwijo.

Usia 3, 5 - 7 tahun yang rawan

Sebenarnya, gangguan ADHD tidak begitu sulit dideteksi. Karena, ciri-cirinya begitu khas; yakni sulit berkonsentrasi dan hiperaktif maupun impulsif pada setiap situasi. Dan, gangguan perilaku itu kerap menyebabkan anak gagal melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-harinya.

Meski begitu, Anda tidak bisa begitu saja mengatakan kalau si kecil Anda pasti menderita ADHD, semata-mata ‘bermodalkan’ ketiga ciri utama itu. Balita Anda masih harus memiliki enam dari sembilan kriteria yang ditetapkan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (lihat boks “Beberapa Kriteria Anak ADHD”).

Ketiga ciri utama ADHD sebenarnya sudah bisa diketahui sebelum anak berusia tujuh tahun. Tepatnya, menurut dr. Dwijo, antara usia 3,5 - 7 tahun. Tapi, ada juga anak yang gangguan ADHD-nya sudah terlihat pada umur 1,5 - 2,5 tahun.

Gangguan ini terbukti diwariskan secara genetik. “Dan, kebanyakan penderitanya adalah anak laki-laki. Kalau mau dibuat perbandingan, kira-kira 2-6 kali lebih banyak ketimbang anak perempuan,” tambah dr. Dwijo.

Ketidakberesan otak

Sejumlah penelitian telah dilakukan oleh para ahli di berbagai pelosok dunia untuk menyingkap penyebab pasti gangguan ini. Bahkan, para ahli telah menggunakan peralatan paling mutakhir untuk melakukan pencitraan otak. Misalnya, Positron Emission Tomography (PET), Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT), serta Magnetic Resonance Imaging (MRI).

Akhirnya, barulah diketahui memang ada yang salah pada otak anak ADHD. “Kelainan pada otak ini bisa terjadi di bagian depan otak, namun bisa pula terjadi pada senyawa kimia penghantar rangsang atau neurotransmitter. Khususnya, dari jenis dopamin dan norepinefrin, ” jelas dr. Dwijo. “Otak anak penderita ADHD, khususnya otak kanan, memiliki ukuran yang lebih kecil,” tambah dr. Dwijo.

Minum obat atau tidak?

Sebenarnya, penanganan penderita ADHD bisa dilakukan dengan beberapa cara. Hanya saja, karena ‘biang keladi’ dari gangguan ini adalah otak, mau tidak mau penanganannya ya dimulai dari otak.

Menurut, dr. Dwijo, yang juga Koordinator Pelatihan Psikiatri di RS Graha Medika, Jakarta, “Khusus penderita ADHD yang masih berusia di bawah lima tahun, biasanya ia diterapi perilaku dulu. Bentuk terapinya bisa berbeda-beda, karena sifatnya benar-benar case by case . Terapi ini bisa juga dilakukan oleh orang tua. Tentunya, setelah orang tua mendapat bimbingan dari psikiater anak. Bila terapi ini tidak membuahkan hasil, barulah obat diberikan.”

Ini yang terjadi pada Ridzky, anak Farhan. Sebagai penderita autis dengan spektrum ADHD, ia harus menjalani dua macam terapi. Pertama, ABA ( Applied Behavioral Analysis), yaitu terapi yang meminta dia mengikuti semua aturan yang diberikan. Dalam setiap aturan, ada punishment dan reward. Kedua, SI ( Sensory Integration), yakni terapi untuk merangsang impuls sensorinya, sehingga dia dapat mengkoordinasikan gerakan otot tubuh sesuai perintah dari otak.

Obat, biasanya, diberikan belakangan karena hingga kini terapi obat masih banyak menimbulkan kontroversi di kalangan ahli. Apakah pemberian obat tidak akan menyebabkan ketergantungan nantinya? “Memang dosis obat tergantung pada seberapa ‘salah’ otak si penderita ADHD. Dan, tidak tertutup kemungkinan, ia akan terus minum obat sampai dewasa. Meski begitu, biasanya dokter sudah memperhitungkan secara akurat dosis obat yang sesuai bagi pasiennya,” kata dr. Dwijo.

Kekhawatiran terhadap efek samping terapi obat juga sempat dirasakan oleh Kristi, “Sebelum Brandan didiagnosa, kami selalu menghindari penggunaan obat-obatan. Sehingga, begitu dokter memberi beberapa jenis obat sebagai terapi, wah benar-benar seperti mimpi buruk!”

Kristi, yang menulis seluruh pengalaman hidupnya selama merawat Brandan dalam buku “Born to be Wild, Freeing the Spirit of the Hyperactive Child” melanjutkan, “Setelah Brandan menunjukkan gejala efek samping dari pemakaian obatnya, yakni muntah-muntah, kami memutuskan untuk menghentikan semua terapi obat ketika ia berusia delapan tahun. Sekarang, di usianya yang ke-12, Brandan sudah sepenuhnya bebas dari pengaruh efek samping obat-obatan.”

Orang tua musti kompak

Yang pasti, penanganan anak penderita ADHD, baik dalam bentuk terapi perilaku maupun terapi obat, tidak akan memberikan hasil yang optimal bila tidak ditunjang oleh sikap kedua orang tuanya. Kristi, misalnya. Ia dan suaminya ingin Brandan bebas dari segala obat-obatan, sekaligus membiarkan Brandan menjadi dirinya sendiri. Untuk yang terakhir ini, mereka sengaja memindahkan Brandan dari sekolah khusus ke sekolah umum. “Di sekolah baru, gurunya tahu benar cara bersikap dan bertindak terhadap anak-anak seperti Brandan. Brandan juga jadi happy ,” kata Kristi.

Sehubungan dengan ini, dr. Dwijo mengingatkan, “ADHD adalah satu-satunya gangguan perilaku yang paling mudah ditangani dan bisa diobati. Makanya, penanganan harus sedini mungkin. Dan, ini dimungkinkan bila Anda dan pasangan cepat tanggap dan menyadari bahwa perilaku si kecil berlebihan. Dari sini, segeralah berkonsultasi pada ahlinya.”

7.000 Kasus Baru

Di Amerika Serikat, sekitar 2-10% populasi anak sekolah menderita ADHD. Sementara di Indonesia, dalam populasi anak sekolah, ada 2-4% anak yang menderita ADHD. Namun, di kota-kota besar, seperti Jakarta, persentasenya bisa lebih tinggi lagi. Minimal ada lebih dari 10% anak penderita ADHD. Dan, yang agak memprihatinkan adalah, diperkirakan akan ada sekitar 7.000 kasus baru setiap tahunnya!

Beberapa Kriteria ADHD

Kriteria sulit konsentrasi:

- Sering melakukan kecerobohan atau gagal menyimak hal yang rinci dan sering membuat kesalahan karena tidak cermat.
- Sering sulit memusatkan perhatian secara terus-menerus dalam suatu aktivitas.
- Sering tampak tidak mendengarkan kalau diajak bicara.
- Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas.
- Sering sulit mengatur kegiatan maupun tugas.
- Sering menghindar, tidak menyukai, atau enggan melakukan tugas yang butuh pemikiran yang cukup lama.
- Sering kehilangan barang yang dibutuhkan untuk melakukan tugas.
- Sering mudah beralih perhatian oleh rangsang dari luar.
- Sering lupa dalam mengerjakan kegiatan sehari-hari.

Kriteria hiperaktif dan impulsif:

- Sering menggerak-gerakkan tangan atau kaki ketika duduk, atau sering menggeliat.
- Sering meninggalkan tempat duduknya, padahal seharusnya ia duduk manis.
- Sering berlari-lari atau memanjat secara berlebihan pada keadaan yang tidak selayaknya.
- Sering tidak mampu melakukan atau mengikuti kegiatan dengan tenang.
- Selalu bergerak, seolah-olah tubuhnya didorong oleh mesin. Juga, tenaganya tidak pernah habis.
- Sering terlalu banyak bicara.
- Sering terlalu cepat memberi jawaban ketika ditanya, padahal pertanyaan belum selesai.
- Sering sulit menunggu giliran.
- Sering memotong atau menyela pembicaraan.

Obat Menyebabkan Ketergantungan?

Masih ada pro dan kontra seputar hal ini. Meski begitu, tidak ada salahnya bila Anda menyimak uraian Robert D. Hunt, dari National Institute of Mental Health , Amerika Serikat.

Dalam artikelnya di Pediatric Annals , edisi Maret 2001, ia menguraikan, prinsip dasar obat-obatan yang diberikan untuk terapi penderita ADHD adalah memanipulasi senyawa-senyawa kimia yang menjadi bahan baku pembentuk neurotransmitter yang terganggu, sehingga mendekati kondisi normal. Nah, bila manipulasi dilakukan sejak usia dini, diharapkan tubuh penderita lama kelamaan akan mampu mengurangi ketergantungannya pada obat.

Tips agar si Kecil Tenang

- Lingkungan rumah tenang.
- Suasana kamar teduh.
- Terapkan aturan dengan tegas.
- Sediakan ruangan untuk santai.
- Biasakan anak mengekspresikan emosinya dalam bentuk tulisan atau gambar.
- Piknik ke tempat yang indah dapat membantu si kecil menanamkan hal-hal positif di dalam pikiran.
- Aturlah pola makan. Hindari konsumsi gula dan bahan makanan berkadar karbohidrat tinggi.
- Ajari anak untuk berlatih menenangkan diri sendiri. Caranya, menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya melalui mulut. Ulangi beberapa kali.

Balita Anda Terlambat Bicara?

Kalau Anda peka, naluri Anda bisa cepat mendeteksi gangguan perkembangan bicara si kecil. Apa saja sih gejalanya?

Seringkali, Anda baru buru-buru ke dokter ketika si 18 bulan atau 2 tahun belum juga bicara. Padahal, sebenarnya ini sudah agak terlambat. Menurut d r. I.G. Ayu Partiwi Surjadi, Sp.A, MARS , Direktur Klinik Perkembangan Anak RS Bunda, Jakarta, “Pada tiga tahun pertama kehidupan, otak adalah organ yang sangat pesat tumbuh kembangnya. Nah, periode ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan stimulasi, seandainya si kecil mengalami gangguan tumbuh kembang. Makanya, deteksi dini sangatlah penting.”

12 bulan pertama yang penting

Bicara adalah tahap perkembangan yang telah dimulai sejak bayi. Dan, tahap bicara mesti diperhatikan sedini mungkin, karena ternyata dapat dijadikan parameter ada tidaknya gangguan perkembangan pada anak. “Tentu saja, tanpa mengabaikan tahap-tahap perkembangan lain, seperti motor kasar-halus dan sosialisasi/interaksi, yang punya peran penting juga dalam menentukan optimal tidaknya perkembangan anak,” kata dr. Partiwi.

Benarkah gangguan bicara banyak ditemukan? Penelitian yang dilakukan di Klinik Perkembangan Anak, RS Bunda, Jakarta, pada tahun 2003 terhadap sekitar 60 orang anak (hanya sebagian kecil saja anak yang datang pada usia kurang dari 1 tahun) menunjukkan, belum bicara merupakan keluhan sebagian besar orang tua yang pada akhirnya didiagnosis sebagai Gangguan Perkembangan Multisistem ( Multisystem Developmental Disorder s/MSDD). Nah, gangguan ini adalah salah satu bentuk kelainan perkembangan yang muncul dalam bentuk gangguan relasi (berinteraksi) dan komunikasi yang akhir-akhir ini tampaknya terus meningkat.

Meski begitu janganlah terlalu cemas. Kegagalan dalam relasi dan komunikasi pada si 0-3 tahun dianggap sebagai kondisi yang masih dapat berubah dan tumbuh. Hanya saja, sulit memprediksi mana yang bisa normal perkembangannya dan mana yang akan mengalami gangguan. Jadi, harus bagaimana?

“Anak-anak yang diteliti tahun 2003 itu ternyata sejak bayi terlalu diam alias tidak mengoceh sesering bayi normal. Makanya, 12 bulan pertama kehidupan anak merupakan masa yang paling penting untuk mendeteksi tumbuh kembang bicaranya. Jadi, bila Anda ke dokter, sebaiknya bukan sekadar untuk imunisasi saja,” katanya lagi.

Jangan abaikan insting

Sebenarnya, bicara atau berkomunikasi sudah dimulai sejak masa bayi. Normalnya, bayi akan menangis dan bergerak. Nah, Anda biasanya belajar bereaksi terhadap tangisan dan gerakannya, sehingga terjadilah interaksi. Melalui pengalaman berinteraksi inilah, bayi akan belajar bahwa sikap Anda akan terpengaruh oleh tangisannya. Interaksi serupa akan terjadi, jika ia mengeluarkan suara. Jadi, aktivitas tersebut memang berpengaruh dalam perkembangan bicara dan bahasa balita.

Dengan mengerti tahap bicara si kecil, diharapkan gangguan bicara dapat segera ditemukan. Tidak seperti yang umum terjadi saat ini. Para o rang tua mempertanyakan mengapa anaknya belum juga berbicara. Padahal, sebenarnya yang dimaksud adalah mengapa si kecil belum berbahasa ekspresif.

“Sebelumnya, anak sudah melalui tahap bahasa reseptif dan bahasa visual. Kedua bahasa ini sebenarnya mirip. Apa bedanya? Reseptif adalah bagaimana Anda memahami perkataan balita, sedangkan bahasa visual atau bahasa tubuh adalah bagaimana Anda mengerti bahasa si kecil melalui sikap tubuh atau ekspresi mukanya. Sebagai catatan, bahasa visual dan bahasa reseptif merupakan salah satu tahap bicara yang dapat dipakai untuk mendeteksi apakah si kecil terlambat bicara atau tidak, sebelum bahasa ekspresifnya timbul,” jelas dr. Partiwi.

Dokter anak kelahiran Singaraja, Bali ini kembali mengingatkan, “Yang penting, sebaiknya Anda tidak mengabaikan naluri Anda. Begitu merasa ada sesuatu pada si kecil, segeralah bawa ke dokter. Beberapa penelitian telah membuktikan ketajaman naluri para orang tua, sehingga dokter tidak akan mengabaikannya begitu saja. Mungkin sekali kecurigaan Anda tidak bisa dipastikan kebenarannya hanya dalam satu kali pertemuan saja. Dokter mungkin saja meminta Anda untuk datang 1 atau 3 bulan lagi.”

Second opinion boleh , asal ...

Pada prinsipnya, semakin dini keterlambatan bicara anak ditangani, semakin bagus kemungkinan membaiknya. Ini tergantung pada kelainan apa yang jadi dasar gangguan perkembangan si kecil. Partiwi memberi contoh anak dengan kelainan gangguan pendengaran. Begitu diberi alat bantu dengar, maka gangguan perkembangan bicaranya akan segera teratasi. Sebaliknya, anak dengan MSDD atau autis, mungkin akan butuh waktu lebih lama penanganannya.

Lalu, kendala apa yang paling sering terjadi? “Kejenuhan Anda, sehingga upaya penanganan anak berhenti di tengah jalan. Padahal, hasilnya pasti kurang baik bila upaya tidak dilakukan secara konsiten. Hal ini biasanya dialami orang tua dari anak dengan kelainan yang butuh waktu lama untuk menanganinya.”

Ia melanjutkan, “ Selain jenuh, kadang Anda juga bingung menghadapi banyaknya metode penyembuhan atau terapi yang ada saat ini . Sebenarnya, boleh-boleh saja Anda mencari second opinion, asal ada yang baik kerja sama antara dokter pertama dan dokter kedua. Anda tak perlu takut berterus terang pada dokter pertama nantinya. Dan lagi, second opinion itu bagus dan merupakan hak Anda sebagai orang tua. Pastikan jalan keluar yang terbaik bagi si buah hati tercinta.”

Si 2 Tahun Mencakar, Mencubit, Menggigit

Mengapa si 2 tahun tiba-tiba suka mencakar, mencubit, menggigit dan bahkan tak jarang menjambak orang lain di sekitarnya? Ia bergurau atau sungguh-sungguh?

Si 2 tahun punya kebiasaan yang kadangkala sudah dijalaninya di masa bayi, yaitu mencakar, mencubit, menggigit dan perilaku menyerang lainnya. Tidak sedikit orang tua yang kemudian bingung menghadapi si penyerang cilik ini.

Empat penyebab

Menurut psikolog perkembangan dari Munich , Jerman, Ulrich Diekmeyer , ada empat situasi tipikal yang berkaitan dengan hobi baru si 2 tahun. “Ketika si kecil memperoleh kesan bahwa perilaku mencubit, mencakar, atau memukul orang lain menyenangkan maka orang tua akan sulit meyakinkan anak untuk menghentikannya,” jelas Diekmeyer.

Diekmeyer lantas menyarankan agar sejak awal, ketika anak-anak memperlihatkan rasa senang saat melakukan perilaku kasar apalagi agresif, orang tua harus menegaskan bagaimana mereka harus melihat situasi ini. “Mencubit, menggigit, atau menjambak menyakitkan orang lain, dan itu tidak dibenarkan,” tutur Diekmeyer.

Empat situasi tipikal yang dimaksud Diekmeyer adalah anak-anak yang melakukannya atas dasar kesenangan, anak-anak yang terlalu bertenaga (secara fisik), anak-anak yang merasa frustrasi, dan anak-anak yang bosan. Ketika Anda menemukan anak berperilaku seperti ini, bukalah mata dan telinga Anda, situasi tipikal mana yang tengah menimpa si 2 tahun Anda?

Pahami kondisi anak

Si 2 tahun Anda yang suka bercanda dengan cara-cara yang sedikit kasar, biasanya adalah anak yang manis dan baik. Biasanya ia menyerang korbannya dengan mimik wajah penuh suka cita, tersenyum senang dan tanpa rasa bersalah. Agresivitas yang dilakukannya lebih dikarenakan ia punya pengalaman yang disimpulkan secara keliru, bahwa memukul orang lain membuatnya tertawa.

Si kecil yang selalu bertenaga, lain lagi ceritanya. Ia kerap kali tak sengaja menepuk sang mama terlalu keras, sehingga akhirnya tampak sebagai perilaku memukul. Terkadang ia mengelus rambut temannya dengan tenaga penuh hingga akhirnya temannya merasa dijambak.

Berbeda lagi dengan buah hati Anda yang berusia 2,5 tahun yang menggigit pengasuhnya setiap kali keinginannya tak dituruti. Mungkin bukan karena keinginannya yang berlebihan, tetapi terkadang itu terjadi hanya karena orang lain tak memahami apa yang diinginkannya. Ia melakukan agresi sebagai kompensasi rasa frustrasi.

Si pembosan juga berbeda. Dengan mencakar atau memukul, ia berharap bisa merebut perhatian orang lain. Terkadang ia membuat ulah hanya karena tak tahu lagi kegiatan apa yang dapat dilakukannya.

Untuk keempat sebab agresivitas anak di atas, Diekmeyer menyarankan orang tua untuk mengatasinya sesuai penyebab dan kebutuhan anak. “Apabila si pembosan cilik menyerang temannya, cobalah atasi penyebab utamanya, yaitu kebosanannya. Berikan si kecil berbagai ide permainan menarik,” ungkap Diekmeyer.

Tetap konsekuen

Sejak dini biasakanlah selalu mendiskusikan dengan anak apa yang sebaiknya dilakukan ketika terjadi pelanggaran. Misalnya saja, Anda telah membuat batasan tentang hal-hal yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Cobalah Anda diskusikan dengan anak, apa yang sebaiknya Anda lakukan jika ia melanggar.

Jika kesepakatan telah Anda buat bersama anak, bersikaplah konsekuen, meskipun sekilas tampaknya sikap seperti ini terlalu keras untuk anak seusia ini. Tapi percayalah, justru dari peristiwa atau pengalamannya di masa kecil, kepribadiannya terbentuk.

Cara termudah menghindarkan si kecil berperilaku agresif, menurut Diekmeyer, adalah dengan menumbuhkan keyakinan diri anak yang sehat. “Ini dapat diraih dengan mudah apabila orang tua memperlihatkan anak berbagai hal yang mahir dilakukan si kecil. Beri penghargaan bahwa ia mampu melakukan sesuatu dengan baik,” Diekmeyer menekankan.

Meskipun konsekuen dan konsisten dalam menghadapi situasi ini, Diekmeyer juga mengingatkan agar orang tua tak lantas kalang kabut. Bersikaplah tenang, tak perlu panik. Seandainya semua cara sudah Anda coba tapi si kecil masih juga suka menyerang, saatnya Anda membutuhkan seorang ahli untuk membantu mengatasi hal ini.

Andi Maerzyda A. D. Th.

Si 2 Tahun Tak Mau Berhenti Ngempeng

Empeng memang membantu Anda menenangkan anak. Namun empeng dapat berdampak negatif jika si kecil terlanjur tergantung menggunakannya.

Arsya menyesal membelikan Ario empeng ketika putranya masih bayi. Waktu itu, menurut mertuanya, empeng sangat efektif untuk membendung tangisan bayi. Arsya, yang kala itu termasuk ibu baru, memang cukup panik mendengar tangisan Ario yang bertubi-tubi.

Empeng yang dibelikannya itu kini seakan-akan melekat erat pada mulut anaknya, hingga kini Ario hampir berusia 2 tahun. Keengganan Ario melepas empeng kesayangannya membuat ibu muda ini panik. Bagaimana agar anak semata wayangnya ini mau melupakan empeng nya?

Ada untung ruginya

Dalam buku What to Expect The Toddler Years karangan Arlene Eisenberg, Heidi E. Murkoff dan Sandee E. Hathaway, disebutkan mengenai perdebatan untung-rugi penggunaan empeng bagi anak. Beberapa penelitian menyebutkan, penggunaan empeng justru dianjurkan bagi bayi-bayi prematur maupun bayi-bayi yang kerap terserang kolik. Tujuannya, untuk menenangkan mereka.

Di sisi lain, penggunaan empeng dalam jangka panjang dapat merusak struktur mulut dan posisi gigi geligi bayi. Bahkan terkadang penggunaan empeng yang terlalu lama dapat menimbulkan masalah bagi kemampuan berbicara si kecil. Padahal, empeng merupakan alat yang sangat digemari para ibu untuk membantu menenangkan bayi-bayi mereka. Sehingga, tidak sedikit ibu yang membeli benda itu bagi buah hatinya. Apalagi, empeng maupun dot kini bentuknya dibuat sedemikian rupa disesuaikan struktur bentuk mulut anak. Namun, bagaimana sebaiknya?

Atasi jika berkelanjutan

Pada dasarnya pilihan untuk memakaikan empeng pada si kecil yang masih bayi sangat tergantung pada Anda. Bagaimana pandangan Anda terhadap pemakaian empeng ini pada anak, serta bentuk empeng seperti apa yang Anda pilihkan baginya.

Namun mendekati usia anak yang kedua, sebaiknya ia tidak tergantung lagi pada empeng. Jika si kecil terlanjur tergantung pada empeng dan Anda akan segera mengakhirinya, berikut ini beberapa cara yang dapat dicoba:

- Ketergantungan anak pada empeng karena perasaan cemasnya. Karena cemas, ia mencari pelampiasan dengan cara mengempeng. Karenanya, cobalah memberi perhatian dan cinta yang cukup bagi si kecil. Hal ini akan membuatnya merasa nyaman dan aman bersama Anda.

- Cobalah mengalihkan perhatian anak dari empeng. Misalnya, dengan mengajaknya menyanyi, bercerita, bercanda atau pun bermain ketika anak teringat empeng nya.

- Ketika anak merasa lapar atau lelah, ia biasanya mengatasinya dengan cara yang dikenal sebelumnya, yaitu mengempeng. Karenanya, hindari si kecil merasa lapar atau lelah.

- Tegakan disiplin dengan konsisten. Katakan dengan tegas pada anak bahwa ia sudah terlalu besar untuk memakai empeng. Negosiasikan kapan ia mau melepaskan empeng . Kemudian, cobalah konsisten terhadap waktu yang telah ditetapkan anak sendiri bersama Anda untuk tidak lagi mengempeng.

- Anda berkesempatan mendorong si kecil melepas empeng saat empeng nya sobek atau rusak dan sudah waktunya dibuang. Tegaskan bahwa Anda tidak membelikannya yang baru karena ia sudah cukup besar untuk terus menggunakan empeng . Jika cara ini yang dipakai, Anda harus siap menggantinya dengan perhatian Anda yang lebih besar. Atau, memberinya berbagai kegiatan agar si kecil cepat melupakan empeng nya.

Bila Tenggorokan Meradang

Penyakit ini kerap menyerang anak-anak. Dan ternyata, virus serta bakteri sama-sama jadi penyebabnya!

Apakah si kecil Anda sudah pernah terkena radang tenggorokan? Asal tahu saja, walau virus dan bakteri menimbulkan penyakit yang sama, gejala yang muncul berbeda, lho!

Antara virus dan bakteri

Sebagai biang keladi radang tenggorokan, ternyata virus dan bakteri punya satu kesamaan. Keduanya sama-sama menyebabkan suhu badan si kecil meningkat, sampai lebih dari 38 ° C. Meski begitu, gejala-gejala yang menyertainya sangat berbeda (lihat boks “Gejala yang Berbeda”).

Masalahnya, anak yang terlalu kecil biasanya belum bisa mengatakan apa yang dirasakannya. Jadi, kitalah yang harus memperhatikan apakah ia mengalami kesulitan dalam menelan makanan atau tidak. Dari sini, gejala-gejala lain umumnya akan ikut menyertai.

Menurut Ram Yogev, MD, dari Children’s Memorial Hospital, Chicago, Amerika Serikat, setiap tahunnya, jutaan anak mengunjungi dokter karena radang tenggorokan. Mayoritas radang tenggorokan terjadi akibat virus, bukan bakteri.

Sebagai catatan , penanganan radang tenggorokan akibat bakteri tetap harus dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah terjadinya komplikasi, yakni gangguan di bagian tubuh lain. Misalnya, di ginjal (nefritis), jantung (penyakit jantung rematik), dan sebagainya.

Asal tahu saja, bakteri yang jadi biang keladi radang tenggorokan, yakni Streptococcus grup A, biasanya tidak menyerang anak di bawah usia 3 tahun. Ini antara lain karena risiko mereka untuk terinfeksi bakteri lebih kecil ketimbang anak yang sudah sekolah.

Harus segera ditangani

Penanganan radang tenggorokan yang disebabkan virus dan bakteri memang agak beda. Kalau biang keladinya bakteri, biasanya si kecil dapat diobati dengan antibiotik jenis penisilin. Namun, bila ia alergi penisilin, dokter akan memberikan obat lain.

Sementara itu, bila penyebabnya adalah virus, si kecil akan sembuh dengan sendirinya. Ini karena daya tahan tubuhnya secara bertahap meningkat lagi. Makanya, anak harus cukup istirahat, minum banyak cairan, serta mengonsumsi makanan bergizi. Cuma, kalau ia terlihat agak mual karena terlalu banyak minum air putih, ganti saja dengan jus buah. Juga, kalau si kecil masih sulit menelan, berikan makanan yang agak lembut. Dalam kondisi ini, obat hanya diperlukan jika anak mengalami demam.

Satu hal lagi, bila sakit tenggorokan sudah berlangsung lebih dari 5 hari dan makin memburuk, atau muncul gejala lain (ruam di perut, dada, dan tangan, serta kaki berwarna merah dengan permukaan kasar), segera bawa anak ke dokter. Gejala tersebut menunjukkan anak menderita Scarlet’s fever. Bakteri Streptococcus memang dapat pula menyebabkan Scarlet’s fever pada sebagian anak. Walau begitu, gangguan ini tidak umum terjadi pada bayi.

Bisa dicegah

Radang tenggorokan dapat ditularkan oleh penderita ke orang lain. Bila Anda sedang radang tenggorokan, misalnya, cegah jangan sampai menulari anggota keluarga lain, termasuk pula si kecil. Caranya, pakailah masker.

Juga, sering-sering mencuci tangan, terutama sebelum memegang peralatan makan anak. Menjaga kebersihan memang merupakan cara ampuh memotong tali penularan penyakit ini. Selain itu, tingkatkan daya tahan tubuh sehingga baik si kecil maupun kita tidak mudah tertular.

Laila Andaryani Hadis

Konsultasi ilmiah: dr. Hindra Irawan Satari, Sp.A( K), MTrop.Paed., Divisi Infeksi dan Pediatri Tropis, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Layar Komputer yang Mengancam Mata si Kecil

Kebanyakan main games di komputer ternyata bisa menyebabkan ‘kelelahan otot mata’ alias asthenopia. Kalau dibiarkan berlarut-larut, akibatnya bisa cukup serius.

Boleh dibilang, komputer sudah jadi salah satu bagian dari gaya hidup Anda, termasuk juga anak. Lihat saja, belum genap usia sekolah, ia sudah begitu piawai bermain games di komputer.

Nah, ‘tersihirnya’ si kecil dalam waktu yang cukup lama di depan layar komputer mau tak mau ikut mempengaruhi otot-otot matanya. “Bagi anak-anak, keadaan ini bisa menimbulkan berbagai keluhan yang mungkin tak pernah Anda duga sebelumnya,” ujar dr. Rosdeni Arifin, Sp.M, Wakil Ketua Komite Medik, Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong.

Benarkah mata bisa lelah?

Sebenarnya, mata bekerja mirip kamera, yakni menangkap bayangan benda. Bayangan atau informasi gambar yang diterima oleh mata akan masuk melalui seperangkat ‘kamera’ di mata, berupa kornea, pupil dan lensa yang transparan. Nah, organ-organ ini berhubungan erat kerjanya dengan otot-otot mata.

Masalahnya, untuk melihat dalam jarak dekat, seperti melihat layar komputer, perlu kerja ekstra dari lensa dan otot mata. Kerja ekstra apa sih?

- Lensa mata harus mencembung untuk mencari fokus benda yang akan dilihatnya .

- Kedua bola mata harus bekerja sama untuk menyatukan bayangan saat mata melihat obyek dalam jarak dekat. Apalagi, jika obyeknya cukup kecil.

- Menggerakkan bola mata ke arah bayangan yang datang, agar tampak jelas. Misalnya, untuk mengikuti games di komputer, bola mata si kecil harus ‘bolak-balik’ ke kanan atau ke kiri.

Sebetulnya sejak lahir sampai usia setahun, mata bayi termasuk rabun dekat karena bayangan jatuh di belakang retina. Benda-benda dalam jarak dekat (kurang dari 30 cm) akan terlihat kurang jelas, jika otot matanya dalam keadaan relaks. Untuk melihat benda sedekat itu dengan jelas, mau tidak mau lensa dan otot-otot mata harus berusaha keras agar bayangan jatuh di retina. Kalau begitu, apa bahayanya?

Khusus balita, yang pada dasarnya masih rabun dekat secara fisiologis, mungkin tidak akan terasa apa-apa pada awalnya. “Namun, bayangkan saja, jika otot matanya ‘dipaksa’ untuk bekerja terus menerus selama berjam-jam di depan layar komputer akibat si kecil bermain games yang gerakannya sangat cepat danterus menerus,” tutur dr. Rosdeni, Bagian Mata RSUD Cibinong.

Belum lagi, jarak antara mata dengan layar komputer biasanya cukup dekat. Kalau sudah begitu, lengkaplah sudah ‘derita’ sang mata. Lelahnya makin menjadi-jadi.

Anak tak mampu mengatakan

Ketegangan yang ditimbulkan dalam permainan games di layar komputer, seringkali membuat anak-anak jarang berkedip. Jika permainannya seru, si kecil seolah-olah ‘tersihir’ dan tenggelam dalam dunianya sendiri. Matanya jadi tak bosan-bosannya memelototi layar komputer.

Padahal nih, kedipan-kedipan mata punya arti tersendiri dalam pemeliharaan kesehatan mata. Bagaimana tidak? Mata ‘kan dilindungi secara anatomis oleh berbagai bagian, seperti kelopak mata, alis serta bulu mata. Proses mengedip pun juga melindungi mata agar tidak mudah kering.

Memang, air mata berguna untuk membersihkan kotoran yang masuk ke mata, melumasi mata, melindungi mata (karena mengandung antibakteri dan antibodi), mengandung nutrisi (glukosa, elektrolit, dan enzim protein), serta sebagai media ‘transportasi’ oksigen dan udara. Jika pasokan air mata kurang dan pelumasan mata menurun, apalagi dalam jangka lama, maka kesehatan mata pun terganggu. Sesekali sih mungkin masih tak terasa. Namun, lama kelamaan akan menimbulkan keluhan juga.

Nah, mata yang jarang mengedip akibat keasyikan memelototi layar komputer akan mengalami penguapan berlebihan. Lengkap sudah ‘penderitaan’ mata si kecil kalau ruangan tempatnya mengutak-atik komputer itu ber-AC, penuh kepulan asap rokok, debu, dan sebagainya. Kok bisa begitu? Selain terasa kering, penglihatannya akan buram plus kemampuan melihat pun menurun. “Padahal, anak kecil biasanya belum bisa bilang keluhan yang dirasakannya. Jika dibiarkan berlarut-larut, bisa terjadi gangguan penglihatan yang menetap,” kata dr. Rosdeni.

Sering dianggap penyakit lain

Kelelahan kerja otot mata dan lensa mata memang bisa muncul dalam berbagai bentuk (untuk jelasnya, simak “Inilah Beberapa Gejala Lelahnya Mata”). Tak heran ‘kan kalau gejala ini bisa disalahartikan dengan penyakit lainnya.

Memang, begitu si kecil mengeluh pusing, tengkuknya sakit dan mual, biasanya Anda langsung membawanya ke dokter anak. Setelah dirontgen kepalanya, ternyata kondisinya baik-baik saja. Namun, karena ia tetap pusing, mual, bahkan kadang-kadang muntah, barulah dokter menganjurkan agar ia diperiksa matanya. “Ternyata, si anak menderita rabun dekat. Dan, rabun dekatnya itu diperparah dengan kebiasaannya bermain game dengan jarak layar yang teramat dekat dengan matanya,” tutur dr. Rosdeni.

Adakah pengaruhnya bila menggunakan filter di depan layar komputer? Ternyata, cara ini tidak dapat sepenuhnya mencegah kelelahan otot mata. Penelitian di Amerika Serikat terhadap 25.000 pengguna komputer memang menunjukkan, filter tidak terlalu berpengaruh dalam mencegah kelelahan otot mata.

Jadi, bukan tak mungkin kalau si kecil yang sehari-harinya selalu terpaku di depan komputer bermain game suatu ketika akan mengeluh pusing, penglihatan tak jelas, mual-mual sampai pingsan. Bisa jadi, ia tidak menderita penyakit serius, melainkan terganggu akibat kebiasaannya berlama-lama di depan komputer. Memang sih komputer perlu dikenal anak sejak dini. Namun demi kesehatannya, sebaiknya diatur saja jam-jam bermainnya. Kalau tidak, matanya yang jadi ‘korban’. Lagi-lagi, semua ini tergantung Anda!

Awas Kuman Datang!!!

Penyakit bisa datang pada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja, termasuk sekolah si kecil! Memang, interaksi antar anak jadi sasaran ‘empuk’ penularan aneka kuman penyakit infeksi.

Sebenarnya, hidup kita memang tidak pernah ‘jauh-jauh’ dari penyakit infeksi. Benar begitu? Bahkan, penyakit demam berdarah yang masih mewabah sampai saat ini, misalnya, adalah satu dari sekian banyak penyakit infeksi. Apa, sih, penyakit infeksi itu?

Menurut dr. Sri Kusumo Amdani, Sp.A dari Kelompok Kerja Infeksi dan Penyakit Tropis RSAB Harapan Kita, Jakarta, “Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya kuman penyakit ke dalam tubuh. Jenis kuman penyakitnya bisa berupa virus, bakteri, jamur, parasit, ataupun Spirochaeta .”

Masalahnya, sekolah, baik prasekolah, taman kanak-kanak, atau tempat penitipan anak merupakan tempat terjadinya penularan atau penyebaran berbagai jenis penyakit infeksi! Padahal, daya tahan tubuh si kecil dalam menangkal ‘serbuan’ kuman penyakit lebih rendah dari orang dewasa.

6‘peringkat’ utama penyakit infeksi

Data di Amerika Serikat (tahun 2003) yang dikemukakan oleh Tim Peters, M.D., dokter spesialis anak dari Vanderbilt University Medical School, Nashville, Amerika Serikat, menunjukkan, setiap tahunnya, anak prasekolah dan TK yang terinfeksi penyakit influenza rata-rata sebanyak 6-10 kali, serta penyakit infeksi perut (gastroenteritis) minimal 1-4 kali. Bagaimana di Indonesia?

Selama musim penghujan ini, menurut dr. Dani, panggilan akrab dr. Sri Kusumo Amdani, yang pernah mengambil pendidikan Medical Epidemiology di Mahidol University, Bangkok, Thailand, tahun 1992, ada 6 penyakit infeksi yang paling banyak diderita oleh anak-anak prasekolah maupun TK, yakni: demam berdarah, influenza, ISPA, infeksi telinga, gastroenteritis , serta mata merah (untuk jelasnya, silakan lihat boks ‘Inilah 6 Penyakit Infeksi yang Lagi Ngetren!’).

Kalau sudah begini, perlukah Anda langsung panik? Janganlah. Selama sekolah memiliki kebijakan untuk mengantisipasi berkembangnya suatu wabah penyakit infeksi, misalnya dengan program imunisasi massal, sebenarnya sekolah tetap menjadi tempat yang cukup “aman” bagi si kecil untuk bereksplorasi dan mengenal “dunia kecilnya.”

Daya tahan tubuh, kuncinya

Pada kenyataannya, sih, penularan penyakit infeksi memang bisa saja terjadi di sekolah si kecil. Makanya, dr. Dani, yang mengambil spesialis anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1988, menyarankan, “Orang tua perlu tahu juga berbagai cara penularan penyakit. Ada yang lewat udara, air, makanan, serta gigitan binatang. Misalnya, nyamuk. Dengan begitu, mudah bagi Anda untuk ‘memutus rantai’ penularan infeksi si kecil.”

Tapi, ia menegaskan lagi, “Tentu saja, tidak semua anak yang terkena infeksi atau sudah kemasukan kuman penyakit pasti jatuh sakit atau menunjukkan gejala penyakit! Karena, hal itu sangat tergantung pada tingkat daya tahan tubuh atau sistem kekebalan tubuh anak!”

Kalau sudah begini, apa yang dapat Anda lakukan? Untuk memperkecil kemungkinan sakit, ‘ajak’ si kecil berpola hidup sehat. Caranya, mengonsumsi makanan bergizi tinggi, banyak minum, serta cukup istirahat. Boleh juga, sih, Anda berikan vitamin dan suplemen tambahan untuk memperbaiki atau meningkatkan daya tahan tubuh anak. Tapi, sebelumnya berkonsultasilah dulu dengan dokter anak Anda. Kenapa, sih? “Ada juga anak yang secara genetik memiliki daya tahan tubuh yang relatif rendah dibanding anak lain. Dan, ini bisa dilihat dari riwayat kesehatan keluarga. Makanya, saran dari dokter sangat diperlukan,” kata dr. Dani.

Benarkah vaksinasi jadi penangkal yang jitu? Program vaksinasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah memang seharusnya ditepati pemberiannya, sesuai jadwal. Sebab, ini benar-benar dapat membantu meningkatkan daya tahan tubuh anak. “Hanya saja, saya sendiri tidak menganjurkan vaksinasi flu, karena jenis virus flu di Indonesia berbeda dengan Amerika. Jadi, kalaupun pihak Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menganjurkan pemberian vaksinasi flu bagi bayi dan balita di Amerika, tidak akan terlalu efektif hasilnya di Indonesia,” katanya lagi.

Sri Lestariningsih
Pengarah gaya: Natalia Kartika
Foto: Dhany Indrianto

Coxsackie, Virus Penyerang Balita

Jangankan mengunyah makanan, untuk minum pun, mulut pedih sekali! Ya, itulah salah satu gejala penyakit mulut, kaki dan tangan (MKT). Repotnya, penyakit ini amat mudah menular.

Karena tak terlalu membahayakan, penyakit ini memang sering terlewatkan begitu saja. Apalagi, gejalanya juga tak terlalu istimewa. Dan, entah mengapa, jumlah penderita penyakit ini biasanya meningkat pada musim pancaroba.

Cirinya: bintil-bintil berair

Umumnya, anak yang kurang sehat akan rewel, mogok makan dan minum, serta tubuh agak sumang (suhu tubuh agak naik). Namun, bila rewelnya berlanjut dengan bertambah sulitnya si kecil makan plus mulutnya sakit sampai keluar air liur (untuk menelan air liur saja perih, apalagi minum), maka Anda perlu ekstra hati-hati. Bisa jadi, si kecil bukan menderita sariawan biasa.

Menurut Prof. Dr. dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K), staf pengajar dari Divisi Infeksi dan Pediatri Tropik, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta, “Coba lihat, apakah ada bintil-bintil berisi air dalam mulut si kecil dan sebagian di antaranya mungkin sudah pecah. Kalau ada, ini adalah salah satu gejala dari penyakit MKT.”

Memang, bintil-bintil berisi cairan merupakan salah satu gejala khas dari penyakit MKT atau hand, foot and mouth disease (HFMD) . Tapi jangan samakan ini dengan penyakit kuku dan mulut pada binatang ternak. Biar namanya mirip, tapi penyakit ini sama sekali berbeda dengan penyakit kuku dan mulut pada sapi misalnya!

Di Indonesia, kebanyakan virus penyebab penyakit MKT termasuk enterovirus yang dikenal sebagai virus coxsackie A16 atau enterovirus 71. Virus coxsackie adalah sejenis enterovirus yang hidup di usus halus. “Karena penyakit ini disebabkan oleh virus, biasanya penyakit ini akan sembuh sendiri dalam waktu 5–7 hari,” kata Prof. Sri.

Sekalipun begitu, ini bukan berarti Anda tak harus waspada. Sebab, bisa saja virus yang menyebabkan penyakit ini berbeda serotipe. Menurut National Center of Infectious Disease , Amerika Serikat, virus coxsackie yang masih sekeluarga dengan virus polio ini sangat mudah bermutasi alias berubah bentuk jadi serotipe yang berbeda.

Jangan sampai komplikasi

Sekalipun orang dewasa bisa juga tertular, penyakit MKT ini lebih sering tampak pada anak-anak di bawah usia 10 tahun, termasuk pula bayi.

Masalahnya, jika bintil berair itu ada di mulut si kecil, bisa dibayangkan betapa perihnya mulut yang tampaknya seperti sariawan itu. Untuk mengurangi rasa sakit tersebut, umumnya dokter memberi obat oles mulut, semacam obat untuk sariawan. Antibiotika tidak diperlukan, kecuali ada tambahan infeksi bakteri.

“Juga, karena mulutnya perih, orang tua sangat khawatir karena anaknya tidak mau makan dan minum,” jelas Prof. Sri Rezeki. Makanya, anak yang dirawat umumnya hanya diberi cairan infus sebagai pengganti makanan yang dibutuhkan tubuh. Uniknya, si kecil biasanya tidak kelihatan seperti anak sakit. Tak heran, kalau selama dalam perawatan, ia bisa mondar-mandir di kamar sambil membawa infus yang menempel di lengan.

Yang pasti, penyakit MKT ini jarang membahayakan penderitanya, kecuali kalau ada komplikasi. Walau begitu, kalau anak masih saja demam, mengantuk, lemas dan tidak bergairah, segeralah bawa ke dokter. Bisa jadi telah terjadi komplikasi. Kalau dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan virus bisa sampai ke jaringan otak dan menyebabkan ensefalitis (radang jaringan otak).

Kalau ini yang terjadi, akibatnya bisa fatal. Inilah yang dialami oleh murid sekolah dasar di Malaysia tahun 1997. Dari ratusan murid sekolah yang harus dirawat di rumah sakit, 26 orang di antaranya meninggal. Waktu itu, sekolah sampai harus diliburkan selama seminggu. “Jika penyebab penyakit MKT ringan, sekolah tak perlu diliburkan kok,” lanjutnya.

Jaga kebersihan

Yang benar-benar perlu diwaspadai adalah, penyakit ini sangat mudah menular. Proses penularannya bisa dari cairan yang keluar dari bintil-bintil di mulut, kaki dan tangan, bisa juga dari kotoran (tinja) si kecil. “Anak yang terkena MKT (dengan bintil-bintil di tangan yang baru pecah) memegang mainan, lalu mainan itu dipegang oleh temannya. Dari sini, jelaslah bahwa si teman anak sudah tertular,” ujar Prof. Sri.

Juga, karena menahan rasa sakit di mulut, anak-anak yang masih kecil tak jarang meneteskan air liur. Nah, air liur itu bisa saja menetes pada bajunya. Jika baju yang basah itu kemudian dipegang oleh orang lain, ya ikut-ikutan tertular juga.

Bagaimana penularan via kotoran? Gampang juga. Dari kotoran yang menempel pada diaper yang tak langsung dibuang, atau tangan pengasuh yang kurang bersih dicuci setelah membersihkan kotoran bayi. “Tangan yang sudah tertempel virus itu berpotensi menularkan penyakit pada orang lain. Apalagi, bila ia harus pula menyediakan makanan atau memegang makanan,” ujarnya lagi. Apa jalan keluarnya?

Jika bayi Anda terkena MKT, sebaiknya diaper yang kotor terkena tinja langsung dibuang dan dimusnahkan. Apalagi, virus yang tersimpan dalam tinja bisa bertahan lama. Juga, si pengasuh harus lebih memperhatikan kebersihan tangannya.

Lalu, jangan dikira jika si kecil yang sudah sembuh serta bintil berisi cairan di mulut dan tangan sudah hilang, tidak mungkin menularkan MKT lagi! Sekalipun sudah lewat 2 minggu, Anda harus tetap waspada. Tinja si kecil masih bisa menularkan virus itu.